Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku usaha industri penerima manfaat harga gas bumi tertentu (HGBT) menyambut langkah pemerintah yang akan memperpanjang program gas murah tersebut setelah berakhir 2024 mendatang.
Ketua Umum Indonesia Rubber Glove Manufacturer Association (IRGMA) Rudy Ramadhan mengatakan rencana pemerintah tersebut menjadi angin segar bagi industri sarung tangan.
Sebab, harga gas yang digunakan saat ini lebih mahal dari penetapan harga gas murah US$6 per MMBTU, khususnya di wilayah Jawa bagian barat dan Sumatra Utara.
"Harga gas mahal akibat berkurangnya gas pipa sehingga industri volumenya dikenakan kuota oleh PT Perusahaan Gas Negara, akibatnya industri harus menggunakan harga LNG dengan harga US$13,5 per MMBTU untuk penggunaan gas melebihi kuota," kata Rudy kepada Bisnis, Selasa (9/7/2024).
Rudy menyebutkan bahwa saat ini kemampuan daya saing industri sarung tangan karet semakin melemah akibat turunnya permintaan konsumen dan harga lateks yang turun.
Rencana perpanjangan HGBT diyakini dapat menjadi komponen dalam menekan biaya produksi, khususnya biaya energi gas. Dengan demikian, industri sarung tangan karet dapat bertahan hidup.
Baca Juga
"Kebijakan yang diambil pemerintah untuk HGBT sangat tepat sebagai economic driver bukan sebagai beban," tuturnya.
Hal ini menyinggung isu bahwa total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021-2024 oleh negara mencapai Rp51,04 triliun. Sedangkan, nilai tambahnya bagi perekonomian nasional Rp157,20 triliun atau meningkat hampir 3 kali lipat.
Di samping itu, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan komitmen pemerintah untuk mendukung indsutri manufaktur melalui kelanjutan HGBT telah mengembalikan kepercayaan pelaku dan investor sehingga tidak wait and see.
"Dengan daya saing terjaga karena HGBT berlanjut maka pelaku usaha pasti mengoptimalkan utilisasi, termasuk menggenjot ekspor di tengah perang dagang global di antara aliansi Barat dengan Tiongkok," ujarnya, dihubungi terpisah.
Dalam hal ini, Yustinus juga membeberkan evaluasi pelaksanaan HGBT yang beberapa waktu ke belakang melenceng karena PT PGN yang menerapkan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) jauh lebih rendah dari volume yang diamanahkan Permen ESDM 91/2023 sebagai pelaksana Perpres 121/2020.
Untuk itu, dia meminta PT PGN secara detail membuka data realisasi pasokan volume HGBT oleh setiap produsen gas bumi di hulu yang tercantum dalam Kepmen ESDM 91/2023 dibandingkan volume yang diterima oleh PGN dari setiap produsen gas bumi.
Sekaligus, data detail yang dialirkan ke setiap perusahaan penerima HGBT. Dengan demikian ketertelusuran data terjaga utuh tanpa diolah, karena data olahan bisa mengaburkan fakta sebenarnya.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan harga gas murah dan kepastian supply gas menjadi penopang daya saing industri keramik, mengingat komponen biaya energi rata-rata 30% dari total biaya produksi.
"Kebijakan perpanjangan HGBT sudah pasti akan memberikan banyak multiplier effect seperti peningkatan tingkat utilisasi kapasitas produksi, menarik investasi baru yang akan menciptakan lapangan kerja baru, peningkatan kontribusi PPn dan PPh Badan, peningkatan kinerja ekspor," jelasnya.
Pelaku usaha juga berharap pemerintah memastikan kebijakan perpanjangan HGBT US$6 per MMBTU dijalankan sepenuhnya sesuai amanat. Pasalnya, sejak pertengahan 2023 lalu harga has naik ke US$6,5 MMBTU untuk batas maksimal 60% dari AGIT.
"Selebihnya dikenakan harga gas super mahal U$13,8 per MMBTU oleh PGN dengan alasan keterbatasan pasokan gas," pungkasnya.