Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dituding Lakukan Mark Up Harga Impor Beras, Begini Respons Perum Bulog

Perum Bulog buka suara mengenai dugaan mark up harga beras yang menyeret nama Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi.
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi di sela-sela kegiatan Halal Bihalal di Kantor Perum Bulog, Kamis (25/4/2024). / BISNIS - Ni Luh Anggela
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi di sela-sela kegiatan Halal Bihalal di Kantor Perum Bulog, Kamis (25/4/2024). / BISNIS - Ni Luh Anggela

Bisnis.com, JAKARTA - Perum Bulog buka suara mengenai dugaan mark up harga beras yang menyeret nama Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto menuturkan, perusahaan asal Vietnam, Tan Long Group, sempat mendaftarkan dirinya sebagai salah satu mitra dari Perum Bulog tapi tidak pernah memberikan penawaran harga ke Perum Bulog.

“Perusahaan Tan Long Vietnam yang diberitakan memberikan penawaran beras, sebenarnya tidak pernah mengajukan penawaran harga sejak bidding tahun 2024 dibuka. Jadi tidak memiliki keterikatan kontrak impor dengan kami pada tahun ini,” jelas Suyamto dalam keterangan tertulis, Rabu (3/7/2024).

Adapun dia menyayangkan tuduhan yang dilayangkan terhadap Bayu, lantaran dinilai tidak berdasarkan fakta tersebut.

Menurut catatan Bisnis, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Dirut Perum Bulog Bayu Krisnamurthi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (3/7/2024). Keduanya diduga melakukan mark up harga impor beras.

Direktur Eksekutif SDR Hari Purwanto menyebut hasil kajian dan investigasi yang dilakukan pihaknya menunjukkan dugaan keterlibatan Kepala Bapanas dan Dirut Bulog. 

“Karena itu kami coba memasukkan laporan pada hari ini dan ada dua hal indikasi korupsi. Yang pertama adalah soal mark up harga beras, dan yang kedua adalah soal masalah tertahan beras yang di Tanjung Priok itu, demurrage,” kata Hari kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (3/7/2024).

Salah satu yang dilaporkan yaitu adanya dugaan keterlibatan Long Group, perusahaan asal Vietnam sebagai eksportir beras ke Indonesia pada periode Januari-Mei 2024. Hari menyebut, perusahaan itu turut menjadi pihak terlapor.

Dia menduga, terdapat mark up yang diimpor dari perusahaan itu. Hari mengklaim, selisihnya dapat mencapai sekitar US$82 per metrik ton. Jika ditotal, estimasi selisih harga pada impor 2,2 juta ton beras diperkirakan mencapai sekitar Rp2 triliun (dengan kurs Rp15.000 per dolar AS).

Untuk diketahui, isu demurrage sempat dibahas pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen pada Kamis (20/6/2024).

Merujuk laman resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Rabu (3/7/2024), demurrage merupakan batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan, di mana untuk barang impor batas waktu dihitung sejak proses bongkar peti kemas dari sarana pengangkut/ kapal hingga peti kemas keluar dari pintu pelabuhan (get out). 

Untuk barang ekspor, batas waktu pemakaian peti kemas dihitung mulai dari pintu masuk pelabuhan (get in) sampai peti kemas dimuat (loading) ke atas sarana pengangkut/ kapal.

Bayu kala itu menuturkan, demurrage atau keterlambatan bongkar muat dalam kondisi tertentu merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari resiko handling komoditas impor.

“Jadi misalnya dijadwalkan 5 hari, menjadi 7 hari. Mungkin karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur, dan sebagainya,” jelas Bayu.

Lebih lanjut Bayu menuturkan, dalam mitigasi risiko importasi, biaya demurrage sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor. 

“Kami selalu berusaha meminimumkan biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengekspor,” ujarnya.

Adapun saat ini, Perum Bulog masih memperhitungkan total biaya demurrage yang harus dibayar. Hal ini termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Pelindo, pertanggungan pihak asuransi, serta pihak jalur pengiriman. 

Bayu memperkirakan, demurrage yang akan dibayarkan tidak lebih dari 3% dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor.

Informasi mengenai demurrage, diakui Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budhy Setiawan membuat Komisinya kebingungan. Pasalnya, demurrage merupakan biaya rutin yang lazim dilakukan saat kegiatan ekspor impor.

“Pemberitaan mengenai demurrage yang marak di media belakangan ini membuat bingung kami di Komisi IV, karena demurrage itu adalah biaya rutin yang lazim dilakukan pada saat kegiatan ekspor impor,” ungkapnya dalam RDP pekan lalu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper