Bisnis.com, JAKARTA - PT Pupuk Indonesia (Persero) menyebut penerapan kebijakan antikarbon atau Carbon Border Adjusment Mechanism (CBAM) yang disebut akan berlaku Uni Eropa pada 2026 tidak berdampak langsung terhadap industri pupuk nasional.
Untuk diketahui, CBAM merupakan pengenaan tarif barang impor yang tinggi emisi karbon. Kebijakan ini menyasar pada enam komoditas, yaitu semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, hidrogen, dan listrik.
Sekretaris Perusahaan Wijaya Laksana mengatakan, secara umum industri pupuk tidak terdampak secara langsung terhadap kebijakan tersebut. Kendati, terdapat efek samping yang menjadi perhatian pihaknya.
"Namun, hal ini dapat memengaruhi sektor perkebunan, di mana kami memasok pupuk kepada sejumlah industri perkebunan. Kami akan tetap mengamati dan mengantisipasi dampak dari kebijakan CBAM," kata Wijaya kepada Bisnis, dikutip Minggu (30/6/2024).
Dia menerangkan, Pupuk Indonesia terus mengupayakan dekarbonisasi untuk membantu pemerintah mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2060, serta mewujudkan penerapan bisnis yang ramah lingkungan untuk keberlanjutan.
Dalam hal ini, Pupuk Indonesia melakukan dua langkah upaya dekarbonisasi, yaitu implementasi teknologi presisi dan NUE (nutrient use efficiency), yang memungkinkan pemupukan menjadi lebih optimal melalui teknologi Precipalm (precision agriculture platform for oil palm).
Baca Juga
"Pupuk Indonesia telah berhasil menurunkan emisi karbon secara nyata, yaitu sebesar 1,55 juta ton atau di atas target 1,21 juta ton pada 2023," ujarnya.
Komitmen tersebut dinilai sejalan untuk menyesuaikan dengan kebijakan pembatasan karbon di pasar global. Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi mencatat risiko ekspor tergerus lantaran aturan CBAM yang akan diberlakukan sebesar US$1 miliar.
"Sejauh ini, kami memprediksi penerapan CBAM tidak berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Saat ini, Pupuk Indonesia berfokus pada penyediaan pupuk nasional," jelasnya.