Bisnis.com, JAKARTA - Fenomena kekeringan ekstrem El-Nino pada 2023 tidak hanya menghantam sistem produksi beras, tapi juga sistem produksi jagung Indonesia.
El-Nino berdampak pada penurunan produksi padi “hanya” 1 juta ton (1,41%) dari 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 53,98 juta ton pada 2023.
Penurunan produksi telah meningkatkan harga rata-rata beras sangat signifikan atau lebih dari Rp2.300/kg dalam setahun. Harga beras masih tercatat Rp12.788/kg pada Maret 2022, kemudian naik sangat tinggi setiap bulan dan menjadi 15.517/kg pada Maret 2023, atau terjadi kenaikan 21,3% dalam 1 tahun.
Dampak El-Nino pada penurunan produksi jagung Indonesia jauh lebih dah-syat. Luas panen Jagung turun 290.000 hektare (10,43%) dari 2,76 juta hektare pada 2022 menjadi 2,47 juta hektare pada 2023.
Akibatnya, produksi jagung pada 2023 turun menjadi 14,77 juta ton jagung pipilan kering dengan kadar air 14% (JPK 14%) atau meng-alami penurunan 1,75 juta ton (10,61%) dibandingkan dengan produksi 16,53 juta ton JPK 14% pada 2022.
Pada 2024 ini banyak lembaga internasional memprakirakan terjadi musim kemarau basah (La Nina), yang ekspektasinya mampu meningkatkan produksi jagung kembali di atas 16 juta ton JPK 14%.
Baca Juga
Kinerja produksi jagung pada 10 provinsi sentra produksi dapat diikhtisarkan berikut: Jawa Timur meng-hasilkan produksi jagung 1,27 juta ton JPK 14%, Jawa Tengah 0,81 juta ton, Nusa Tunggara Barat (NTB) 0,56 juta ton, Sulawesi Selatan 0,51 juta ton, Lampung 0,47 juta ton, Sumatra Utara 0,34 juta ton, Jawa Barat 0,30 juta ton, Gorontalo 0,29 juta ton, Sumatra Barat 0,19 juta ton dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 0,16 juta ton.
Sebagian besar jagung ini digunakan sebagai bahan baku industri pakan ternak, kecuali di NTT, yang lebih banyak digunakan untuk jagung pangan. Pulau Madura yang pernah dikenal sebagai penghasil jagung, kini makin sulit dijumpai masyarakat yang makan jagung.Pada 2024, BPS mempra-kirakan produksi jagung meningkat signifikan, karena faktor curah hujan yang membaik.
Kecenderungan terjadi musim kemarau basah cukup tinggi (La Nina), yang menjadi faktor positif untuk peningkatan produksi per-tanian, utamanya padi dan jagung. Prakiraan iklim yang dikeluarkan oleh Lembaga Administrasi Kelautan dan Atmosfir Nasional (NOAA) dan Lembaga Penelitian Internasional dari Universitas Columbia (IRI) di Amerika Serikat, bahwa peluang terja-dinya La-Nina dapat menca-pai di atas 70%.
Potensi atau estimasi produksi jagung Indonesia menggunakan metode KSA pada Maret dan April 2024 mencapai 3,86 juta ton JPK 14%, jauh sangat tinggi dibandingkan produksi pada Maret dan April 2022. Jika kondisi cuaca atau iklim ini cukup konsisten hingga akhir 2024, tidak mustahil bahwa produksi jagung Indonesia kembali mencapai 16 juta ton JPK 14%.
Bahkan, diskusi publik tentang antisipasi penurunan harga jagung di tingkat petani tetap perlu dilakukan, karena tidak ada lembaga negara yang menjadi penyanggah fluktuasi harga dan pasokan jagung. Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga membuat estimasi neraca jagung 2024, yaitu produksi dalam negeri 14,6 juta ton, impor 1,2 juta ton, stok awal 3,5 juta ton, sehingga total ketersediaan 19,3 juta ton.
Total konsumsi atau kebutuhan jagung domestik 15,1 juta ton, utamanya untuk pakan ternak dan sedikit untuk pangan manusia langsung. Dengan kondisi itu, maka stok akhir 2024 adalah 4,26 juta ton, yang akan menjadi stok awal 2025. Jagung adalah komponen utama pakan ternak (50%—60%), sekitar 10 juta ton untuk industri pakan.
Peternak ayam petelur dan ayam pedaging (broiler) mandiri melakukan pen-campuran pakan sendiri (self-mixing), jika harga jagung tinggi dan tidak terjangkau. Jagung Indonesia sering terkena jamur Aflatoxin yang beracun dan menimbulkan masalah keamaan pangan.
Proses pascapanen pengering-an jagung dengan matahari dan alat pengering jagung seadanya menjadi salah satu penyebab munculnya jamur Aflatoxin tersebut. Walaupun sebagian besar jagung digu-nakan untuk pakan ternak, faktor kontaminasi jamur Aflatoxin tetap perlu diperhatikan. Proses pengolahan jagung menjadi pakan ternak sangat tergantung pada kua-litas jagung sejak di tingkat usaha tani dan utamanya proses panen dan pascapanen.
Ada tiga rekomendasi per-ubahan kebijakan. Pertama, peningkatan produksi dan produktivitas jagung melalui efektivitas sistem kemitra-an dengan industri pakan ternak, misalnya dengan dukungan akses pada sumber pembiayaan, baik melalui kredit usaha rakyat (KUR), skema pembiayaan sektor swasta atau modal ventura untuk meningkatkan inklusi-vitas perbankan.
Kedua, perbaikan akses dan penggunaan teknologi baru, seperti benih unggul, pupuk tunggal dan pupuk majemuk, beserta kegiatan panen dan pascapanen yang mampu memperbaiki kualitas jagung yang dihasilkan, termasuk jagung rendah Aflatoxin (JRA).
Ketiga, penguatan sistem cadangan jagung nasional untuk mengurangi dampak buruk dari ketidakmerataan panen jagung, yang umumnya terjadi pada triwulan I—tri-wulan 3. Kebutuhan jagung oleh pabrik pakan yang terjadi pada triwulan 4 dapat dipenuhi dari cadangan jagung nasional tersebut.