Bisnis.com, JAKARTA - Harga pangan impor di dalam negeri berisiko melonjak seiring pecahnya konflik Iran dengan Israel.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal mengatakan risiko kenaikan harga pangan impor bisa terjadi saat ketegangan di Timur Tengah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Musababnya harga pangan yang diimpor erat kaitannya dengan biaya energi bahan bakar minyak atau BBM yang berdampak pada ongkos logistik.
"Bisa terjadi [harga pangan naik] jika perang terus memanas sehingga harga minyak dunia menembus US$100 per barel," ujar Faisal saat dihubungi, Jumat (19/4/2024).
Kendati begitu, ihwal pasokan pangan impor ke Indonesia, kata Faisal, cenderung tidak terpengaruh oleh konflik Iran vs Israel. Pasalnya, kedua negara yang tengah bersitegang tersebut bukan menjadi sumber impor pangan terbesar bagi Indonesia.
Di sisi lain, Faisal menyebut bahwa kontribusi Iran dan Israel terhadap produksi pangan dunia tidak terlalu mendominasi. Lain halnya dengan konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina pada 2022 yang berimbas pada pasokan gandum dunia.
"Kalau Ukraina dan Rusia memang produsen gandum, juga supplier gandum terbesar ke Indonesia. Saya rasa kalau ke bahan pangan dampaknya [perang] minimal," ucapnya.
Baca Juga
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag, Budi Santoso mengatakan bahwa hingga saat ini ketegangan di Timur Tengah tersebut belum memberikan dampak riil terhadap perdagangan luar negeri Indonesia. Khususnya ihwal pasokan produk impor yang dikirim melalui Terusan Suez, seperti gandum.
"Sampai sekarang terutama distribusi [barang impor] yang melalui Terusan Suez, biasanya yang melalui sana kan gandum, tapi sampai saat ini masih lancar belum ada kendala," ujar Budi saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jumat (19/4/2024).
Kendati belum berdampak terhadap perdagangan luar negeri, Budi mengaku pihaknya terus memantau perkembangan situasi global yang berisiko terhadap ekspor dan impor.
"Kami monitor terus, dengan perwakilan kita yang ada di luar negeri," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan, Bapanas, Maino Dwi Hartono mengatakan, komoditas yang paling berisiko terdampak perang di Timur Tengah seperti kedelai dan gandum. Musababnya, selama ini Indonesia juga mengandalkan pasokan gandum dari negara-negera di wilayah tersebut.
Maino berharap para importir bisa melakukan antisipasi dengan mencari alternatif negara sumber impor lainnya. Misalnya, untuk gandum dan kedelai bisa mencari pasokan dari Eropa ataupun Amerika seperti Argentina.
Sementara untuk pasokan komoditas bawang putih dan beras, menurut Maino tidak akan begitu terdampak dari ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Musababnya, selama ini sebagian besar impor bawang putih yang dilakukan Indonesia berasal dari China. Sementara impor beras sebagian besar berasal dari negara-negara di Asia Tenggara.
Begitupun dengan impor daging sapi, juga dianggap tidak terpengaruh oleh konflik di Timur Tengah karena sebagian besar pemasoknya berasal dari Australia.