Bisnis.com, JAKARTA - Awal Maret 2024 ini, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 3/2024 terkait pengaturan impor atau dikenal dengan kebijakan barang larangan dan/atau pembatasan (lartas) impor untuk memperkuat ekonomi nasional mulai diberlakukan.
Lalu, efektifkah penerapan lartas impor ini terhadap daya saing perdagangan internasional Indonesia, di tengah praktik bisnis rantai suplai global khususnya yang dilakukan lewat laut termasuk Pelabuhan nasional Indonesia?
Nobelis dan penulis buku proteksionisme, Jagdis Bagwati, pada 1990 meng-kritik pola pembatasan perdagangan yang pro pada konsep kebebasan perdagang-an atas nama kepentingan individu negara, ketimbang kebebasan perdagangan untuk banyak negara secara global.
Bagwati berargumen proteksi perdagangan eksklusif justru menciptakan manfaat paradoks bagi potensi ekonomi dan daya saing negara yang menerapkannya, khususnya bila konteks prak-tik perdagangan internasional tersebut membutuhkan pergerakan berbagai barang modal, bahan baku serta barang setengah jadi dalam rantai suplai barang global, untuk dihilirkan dengan nilai tambahnya.
Premis paradoksal di atas, mulai faktual menggejala terjadi di Indonesia termasuk di Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatra Utara. Pola restrik-si distribusi, dengan pembatasan pelabuhan tujuan barang impor utamanya di Pelabuhan Belawan terhadap Pelabuhan Kuala Tanjung mulai menimbulkan masalah baru.
Hal yang sama juga terjadi di banyak pelabuhan tetangga dari sejumlah pelabuhan nasional, seperti Tanjung Perak, Tanjung Priok, Cigading, Soekarno-Hatta, Bitung, dan Jayapura.
Baca Juga
Di Sumatra, preferensi lartas dengan memilih pelabuhan tujuan impor di Pelabuhan Belawan telah menimbulkan penurunan volume barang, kehilangan peluang perdagangan yang berkelanjutan, dan terganggunya sumber bahan baku ekspor sekaligus inefisiensi logistik komoditas unggul-an tidak hanya di Kuala Tanjung Sumatra Utara, tetapi di sejumlah provinsi penting di Sumatra.
Lartas lewat Permendag 2017, 2020, 2023 dan 2024 ini telah menutup akses 25 kategori barang impor (ber-dasar Permendag 36/2023), seperti elektronik dan komputer, makanan-minuman, hortikultura, bahan kimia, ekstrak nabati, kosmetik, tekstil, mainan, pakaian, serta berbagai bahan baku atau setengah jadi untuk KEK Sei Mangkei, Kawasan Industri Kuala Tanjung semisal Inalum sebagai entitas induk BUMN pertambangan nasional terdekat sekitarnya.
Lartas impor dengan tujuan Kuala Tanjung menyebabkan dampak biaya tambahan yang memberatkan operator pelayaran, pelabuhan, kawasan industri dan pemilik kargo sekitar Kuala Tanjung sekitrnya.
Dampaknya, karena konsep ships follow the trade, penyediaan armada kapal dengan jadwal, fre -kuensi kedatangan dan tujuan-asal rute internasionalnya sulit direalisasikan. Walau ada kargo ekspor dari Kuala Tanjung, jika baliknya kosong, konskuen-sinya menimbulkan keti-dakseimbangan trafik yang merugikan.
Dampak opera-sionalnya, Pelabuhan Kuala Tanjung menjadi stagnan, padahal investasi negara lewat modal BUMN dan swasta di diperkirakan telah menghabiskan Rp11 triliun untuk penyediaan infrastruktur, suprastruktur, juga kawasan industri Kuala Tanjung, KEK Sei Mangkei, termasuk penyediaan akses darat dan tol sekitar Kuala Tanjung.
Dukungan kebijakan pemerintah juga tak kurang seperti Perpres 3/2016, PP 42/2021, dan Permenko Perekonomian 7/2023 telah menetapkan Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai Pelabuhan internasional Indonesia, masuk dalam daftar proyek strategis nasional dan diproyeksikan menjadi pelabuhan konsolidator internasional Indonesia.
Paket kebijakan ini memang logis karena secara geografis, lokasi Kuala Tanjung berada di Selat Malaka dan berpotensi mendapatkan potensi trafik pelayaran global bertipe tanker, curah kering, curah cair dan kontainer dengan kuantitas total sekitar seki-tar 90.000 unit kapal per tahunnya.
Sementara, pelabuhan Belawan yang menjadi pilih-an tujuan kebijakan lartas memiliki keterbatasan keda-laman navigasi perairan ter-masuk kolam kurang dari 9 meter. Secara teknis, hanya mampu menangani arma-da kapal dengan kapasitas angkut 500—800 boks kontainer.
Sementara dermaga kontainer Kuala Tanjung dengan kedalaman 16 meter mampu menangani kapal berukuran besar bertipe Post-Panamax dengan kapasitas angkut hingga 18.000 boks kontainer.
Dengan kemampuan menangani kapal berdimensi besar, menjadikan Pelabuhan Kuala Tanjung memiliki potensi menghasilkan efisiensi biaya penanganan kontainer per unit akibat memenuhi skala ekonomi yang optimal ter-masuk biaya importasi dan logistik maritim yang lebih efisien.
Kebijakan lartas eksis lewat pembatasan akses pelabuhan tujuan dalam peta rantai suplai global eksis, tidak memberikan keuntungan ekonomi dan daya saing logistik maritim nasional. Usaha lartas impor perlu dilakukan dengan tar-get rasionalisasi biaya impor, mendukung usaha menda-patkan bahan baku dan pendukung impor untuk tujuan ekspor serta menghindari mandeknya investasi negara dan swasta akibat kebijakan lartas.
Dalam konteks Pelabuhan Belawan dan Pelabuhan Kuala Tanjung, penerapan lartas perlu dilakukan dengan tidak diskriminatif.
Keduanya mungkin perlu mendapatkan porsi lartas yang rasional dengan target meningkatkan nilai tambah komoditas atau kargo ung-gulan Sumatra dan nasional.