Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Rapor Tax Ratio Era Jokowi, Mampukah Prabowo 'Oke Gas' ke 16%?

Simak capaian rapor rasio perpajakan di era Presiden Jokowi. Mampukan Prabowo capai target tax ratio ke level 16%?
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri Rapim TNI-Polri dan menerima pangkat secara istimewa dari Presiden Joko Widodo di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024)/Kementerian Pertahanan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri Rapim TNI-Polri dan menerima pangkat secara istimewa dari Presiden Joko Widodo di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024)/Kementerian Pertahanan

Ambisi Prabowo Kejar Tax Ratio 16% 

Calon Presiden Indonesia 2024-2029 yang unggul dalam hitung real count KPU sejauh ini, Prabowo Subianto kembali mengungkapkan soal rasio kepatuhan membayar pajak atau tax ratio Indonesia di depan investor dari dalam dan luar negeri. Dirinya berjanji akan mengerek tax ratio menyusul negara-negara tetangga atau setidaknya mencapai 16% seperti Thailand. 

Prabowo berambisi untuk menaikkan rasio pajak Indonesia, yang saat ini berada pada kisaran 10%, untuk setidaknya setara dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang berkisar 16%-18%. 

Prabowo menyebutkan bukan hal yang tidak mungkin Indonesia dapat menyusul rasio pajak negara tetangga. Menurutnya, perlu perluasan basis pajak untuk menjaring penerimaan negara. 

“Kenapa indonesia tidak bisa? Itu pertanyaan saya kepada ahli ekonomi, bukan dalam arti kita harus menaikkan pajak, kita harus memperlebar pembayar pajak,” tuturnya dalam Mandiri Investment Forum (MIF) 2024, Selasa (5/3/2024). 

Lalu bagaimana faktanya? Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat Indonesia berada di peringkat lima terbawah untuk kategori rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax-to-GDP ratio. 

Dari 29 negara Asia Pasifik yang dikomparasi oleh OECD, Indonesia berada di posisi ke-25 dengan tax ratiosebesar 10,9% per 2021. Capaian ini di bawah rata-rata Asia Pasifik yang sebesar 19,8% dan jauh di bawah rata-rata OECD yang sebesar 34,1%. Indonesia terpantau berada di atas Vanuatu (10,9%), Bhutan (10,7%), Pakistan (10,3%), dan Lao PDR (9,7%). 

Sementara Malaysia tepat berada di atas Indonesia dengan capaian tax ratio sebesar 11,8% pada 2021. Negara tetangga lainnya, yaitu Singapura memiliki rasio lebih tinggi, yakni 12,6%. Sedangkan Thailand di angka 16,4%, dan Vietnam sebesar 18,2%.

OECD membukukan, meski rasio milik RI naik 0,8% pada 2021 dari 2020 yang sebesar 10,1%, namun anjlok 1,4% dari periode 2007-2021. Kala itu pemerintahan masih dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tax ratio RI mampu menyentuh 12,2%. 

Tax ratio tertinggi Indonesia pada 2008 sebesar 13,09%, dan terendah pada 2020 sebesar 10,15%,” tulis OECD, dikutip Rabu (6/3/2024).

Menilik Rapor Tax Ratio Era Jokowi, Mampukah Prabowo 'Oke Gas' ke 16%?

Pemisahan Ditjen Pajak dan Bea Cukai dari Kemenkeu 

Bukan hanya itu, Prabowo berambisi merealisasikan pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) yang ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB mencapai 23%. Program ini bahkan menjadi satu dari delapan program unggulannya. 

Sebelumnya Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai butuh waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak murah untuk melakukan pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai menjadi BPN. 

“Pemisahan butuh waktu yang tidak sebentar, ego sektoral di Kemenkeu juga penting dilihat,” katanya kepada Bisnis.

Meski terus digaungkan rencana pemisahan unit eselon I dari Kemenkeu ini, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menuturkan masih belum ada pembahasan lebih lanjut terkait rencana ini. 

“Belum ada pembahasan [BPN]. Lagipula perlu persiapan peraturan perundang-undangannya juga,” ujar Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibow kepada Bisnis, Selasa (5/3/2024). 

Dirinya juga menyampaikan belum dapat memberikan informasi lebih lanjut terkait satu dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) milik Prabowo-Gibran tersebut. Dirinya juga enggan berkomentar lebih lanjut mengenai persiapan peraturan perundang-undangan untuk membentuk BPN. 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper