Utak-Atik APBN Jelang Pelantikan
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan bahwa tantangan bagi pemerintahan baru adalah fiscal adjustment, yaitu penyesuaian rencana kebijakan dengan proyeksi anggaran yang telah ditetapkan pada tahun sebelumnya.
Ronny menilai, pelaksanaan APBN tahun depan tidak akan mudah, karena pemerintahan yang baru tidak hanya melanjutkan program-program yang sudah ada, tetapi juga membawa banyak rencana kebijakan baru.
“Artinya, harus ada kompromi dan upaya ekstra. Kompromi terkait dengan implementasi program baru yang dilakukan secara bertahap atau perlahan, sesuai keadaaan fiskal yang ada. Sementara upaya ekstra terkait dengan upaya penemuan sumber pembiayaan baru yang sah, tapi juga tidak membebani ekonomi nasional,” katanya.
Dia menuturkan, disiplin fiskal perlu terus dilanjutkan oleh pemerintahan baru, di mana defisit APBN harus dijaga secara ketat, jangan kembali naik melebihi 3% dari PDB.
Kemudian, Ronny menilai program-program pemerintahan baru harus dideliberasi dan dipilah, termasuk memprioritaskan belanja sosial yang memberikan multiplier effect di masyarakat.
“Artinya, bansos berupa makan gratis masih sangat perlu diperdebatkan, jika bisa diganti dengan program yang lebih baik dan imbasnya berkelanjutan. Karena program makan siang gratis dampaknya kurang terlalu berkelanjutan. Sekali programnya berhenti, maka efeknya juga berhenti. Harus dicari model social spending untuk perbaikan nutrisi masyarakat yang lebih baik dan terukur,” jelas dia.
Baca Juga
Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai transisi kebijakan fiskal dari pemerintahan saat ini ke pemerintahan baru tidaklah mudah, karena akan menampung visi misi dan berbagai program yang harus diakomodir pada 2025.
Yusuf mencontohkan, pekerjaan rumah yang belum selesai dan harus dilanjutkan, yaitu memperbaiki penyaluran subsidi sudah dilakukan pemerintah setidaknya dalam 5 hingga 10 tahun terakhir, yang dinilai masih ada beberapa ruang untuk ditingkatkan penyalurannya.
“Sehingga nantinya ruang perbaikan penyaluran subsidi inilah yang kemudian perlu diinterpretasikan dalam dokumen baik PPKF ataupun APBN nantinya, apalagi jika disambungkan dengan kebijakan pemerintah lain, misalnya makan siang gratis. Tentu juga perlu dilihat apakah kebijakan ini sudah mampu ditutupi hanya dengan kebijakan efisiensi subsidi atau perlu diakomodir dengan penambahan anggaran belanja,” katanya.
Penambahan anggaran pun, imbuhnya, perlu disesuaikan dengan kemampuan penerimaan. Jika target rasio pajak pada 2025 tidak jauh berbeda dengan 2024, maka perlu ada pendanaan alternatif.
Dalam hal ini, menurutnya, penarikan utang baru masih akan menjadi salah satu sumber pembiayaan yang akan dilakukan oleh pemerintahan baru dalam APBN 2025.
Kemudian, terkait rencana penghapusan kemiskinan ekstrem, Yusuf menilai pemerintah juga perlu melihat apakah target kemiskinan ekstrem bisa dijalankan di tahun ini atau memang harus ada penambahan waktu hingga tahun depan.
“Artinya dokumen penghapusan kemiskinan ekstrem ini juga harus dimasukkan ke dalam dokumen PPKF dan kebijakan APBN. Harapannya pemerintahan baru bisa mengakomodir kepentingan ini mengingat ini merupakan visi bersama dalam menghapuskan kemiskinan ekstrem,” jelasnya.
Dari sisi penerimaan, Yusuf menambahkan, dengan adanya rencana mendirikan Badan Penerimaan Negara, pemerintah baru juga perlu mengkaji apakah badan ini akan menjadi salah satu faktor yang kemudian bisa mendorong penerimaan pajak dan perlu dituangkan dałam dokumen KEM PPKF.
Dengan demikian, isu atau arah kebijakan penerimaan negara tahapannya menjadi jelas mulai dari tahun depan hingga 4 tahun berikutnya.
Yusuf menambahkan pemerintah mendatang pun harus mendiskusikan isu terkini dalam upaya mendorong peningkatan rasio pajak, termasuk di dalamnya penerapan tarif baru untuk PPN, kebijakan terkait cukai, dan menindaklanjuti penerapan perjanjian pajak internasional.ij