Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aturan Main Baru PLTS Atap, Siapa yang Diuntungkan?

Revisi Permen PLTS atap mengakomodasi sejumlah penyesuaian kebijakan, seperti penghapusan ekspor-impor listrik hingga biaya kapasitas.
Pekerjaan meninjau jaringan instalasi panel surya di pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap Trans Studio Mall Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin (4/12/2023)/Bisnis-Abdurachman
Pekerjaan meninjau jaringan instalasi panel surya di pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap Trans Studio Mall Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin (4/12/2023)/Bisnis-Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Revisi teranyar beleid mengenai pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap akhirnya terbit. Poin-poin perubahan di dalamnya dinilai menjadi disinsentif bagi pelanggan skala rumah tangga, tetapi menambah daya tarik bagi segmen industri.

Perbaikan aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum. Permen ini mencabut aturan sebelumnya Permen ESDM Nomor 26/2021.

Penyesuaian kebijakan yang diakomodasi Permen itu meliputi penghapusan ketentuan mengenai batasan kapasitas, ekspor-impor energi listrik, dan biaya kapasitas (capacity charge), serta penambahan ketentuan kuota pengembangan PLTS atap.

Penghapusan skema ekspor listrik dari PLTS atap ke jaringan PT PLN (Persero) dinilai justru membuat keekonomian pemasangan skala rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menarik. Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 dianggap menghambat partisipasi konsumen listrik kelas rumah tangga. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengakui bahwa PLTS atap kurang menarik bagi konsumen rumah tangga. Lewat beleid anyar PLTS atap, kementeriannya memang ingin menyasar segmen industri dan komersial yang relatif memiliki kemampuan atau skala pasang yang besar. 

“Memang PLTS atap yang sekarang agak sulit untuk rumah tangga karena kan tidak ada ekspor impor, tidak ada titip. Kalau dulu kan bisa,” kata Dadan, Jumat (23/2/2024).

Sebelumnya, berlakunya skema ekspor-impor listrik atau net-metering dimaksudkan sebagai pengurang tagihan listrik konsumen yang memasang PLTS atap. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, net-metering akan membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap.

"Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1,” kata Fabby lewat siaran pers.

Tanpa net-metering, kata Fabby, biaya investasi per satuan kilowatt peak bakal menjadi tinggi. Konsekuensinya, keekonomian sistem PLTS atap khususnya pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menguntungkan. 

“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1," kata Fabby.

Tanpa net-metering, kata Fabby, biaya investasi per satuan kilowatt peak bakal menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). Konsekuensinya, keekonomian sistem PLTS atap khususnya pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menguntungkan.

“Dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” tuturnya.

IESR menilai peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target proyek strategis nasional (PSN) berupa 3,6 gigawatt (GW) PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama. 

Fabby berpendapat pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari.

Sebelumnya, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, ditiadakannya aturan soal ekspor listrik PLTS atap bertujuan untuk menjaga beban keuangan PLN di tengah kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang terlanjur lebar saat ini.  

“Kapasitas yang dipasang itu nantinya akan dipakai untuk konsumen itu sendiri jadi diharapkan konsumen memasang sesuai dengan kebutuhannya. Nanti akan disesuaikan dengan kuota, PLN akan mengeluarkan kuotanya,” kata Feby. 

Menguntungkan Industri 

Perubahan ketentuan lainnya dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 adalah terkait penghapusan kewajiban membayar biaya operasi pararel pemasangan PLTS atap bagi sektor industri.

“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri, setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri," kata Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.

Namun, untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 megawatt (MW), Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik pemegang IUPTLU. Menurut Marlistya, kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan.

Selain itu, Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IUPTLU) untuk 5 tahun. Selain itu, dalam peraturan ini ditetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara kepada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.

Secara garis besar, IESR pun menyayangkan Permen PLTS Atap terbaru terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia, upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbiaya rendah dan tidak membebani negara karena investasi energi terbarukan dilakukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara.

IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah 1 tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. IESR menilai pemerintah perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.

Sementara itu, Direktur Utama PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY) Jung Fan menilai positif ketentuan sistem kuota untuk periode 5 tahunan dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024.

Menurut Jung Fan, ketentuan sistem kuota untuk periode 5 bakal memberi kepastian bisnis bagi pengembang PLTS atap nantinya.

“Waktu 5 tahunan ini mungkin cukup ideal untuk industri PLTS karena memang akan membantu memberi kepastian pendapatan selama 5 tahun,” tuturnya kepada Bisnis.

Namun, dia berharap nantinya pemerintah dan PLN dapat memberikan alokasi kuota pengembangan sistem PLTS atap yang besar pada periode 2024-2028. Dia berpendapat kuota jumbo untuk pengembangan PLTS atap diharapkan dapat membantu mengerek investasi pembangkit surya yang ditarget terpasang sampai 3,6 gigawatt (GW) pada 2025 nanti.

“Alokasi kuota untuk PLTS atap haruslah cukup besar untuk mencapai sasaran tersebut,” katanya.

Setali tiga uang dengan Fabby, Chief Commercial Officer SUN Energy Dion Jefferson berpendapat hilangnya ketentuan ekspor listrik berlebih ke sistem PLN diperkirakan bakal menggerus investasi PLTS atap pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil.  

“Penggunaan listrik mereka [residensial dan sosial] tidak terlalu besar di siang hari sehingga tidak adanya ekspor listrik ke PLN ini mungkin akan mengurangi keekonomian dari proyek PLTS,” kata Chief Commercial Officer SUN Energy Dion Jefferson saat dihubungi, Selasa (6/2/2024).

Sementara itu, Kementerian ESDM bersama dengan PLN tengah merumuskan kuota pengembangan sistem PLTS atap untuk periode 2024 sampai dengan 2028.

Selepas beleid revisi PLTS atap diteken akhir Januari lalu, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTLU) bersama dengan Kementerian ESDM mesti merumuskan kuota paling lambat 3 bulan sejak peraturan menteri (Permen) anyar itu diundangkan.

“[Kuota] lagi dibahas jadi tahun ini berapa, itu belum keluar,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

Dadan menargetkan kuota PLTS atap itu dapat mengejar ketertinggalan pemasangan kapasitas pembangkit listrik surya yang dipatok di level 3,6 gigawatt (GW) sampai akhir 2025 mendatang.

Lewat data Kementerian ESDM, akumulasi kapasitas pemasangan PLTS hingga akhir 2023 berada di level 573,8 megawatt (MW). Adapun, PLTS atap diperkirakan hanya menyumbang sekitar 90 MW hingga akhir tahun lalu.

Otoritas ketenagalistrikan menargetkan akumulasi kapasitas terpasang panel surya tahun ini dapat menyentuh di kisaran 770,7 MW. Lewat revisi beleid ini, Dadan mengatakan, kementeriannya bakal menyasar pasar industri dan komersial yang relatif memiliki kemampuan atau skala pasang yang besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper