Bisnis.com, JAKARTA – Penerimaan negara tercatat mencapai Rp215,5 triliun pada Januari 2024 atau lebih rendah dari realisasi Januari 2023 yang senilai Rp232,2 triliun, alias turun Rp16,7 triliun. Pada saat yang sama, pemerintah sedang gencar menyalurkan APBN.
Hal itu tercermin dari belanja negara pada Januari 2024 senilai Rp184,2 triliun. Utamanya pada belanja dari Kementerian/Lembaga (K/L) yang naik lebih dari 50% (year-on-year/yoy) menjadi Rp44,8 triliun.
Dari situ, pemerintah mencatatkan surplus APBN pada Januari 2024 senilai Rp31,3 triliun atau 0,14% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Di samping itu, pembiayan anggaran dipenuhi dengan penarikan utang baru senilai Rp107,6 triliun, lebih tinggi dari realisasi pembiayaan utang Januari 2023 yang sejumlah Rp95,62 triliun. Realisasi ini mencapai 16,6% dari target pemerintah tetapkan Rp648,1 triliun.
Belanja pemerintah nampaknya akan semakin terdorong, mengingat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan anggaran untuk bansos pangan, bantuan langsung tunai (BLT), hingga berbagai insentif mulai dari perumahan hingga kendaraan sepanjang tahun ini. Akankah defisit berpotensi melebar?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet melihat pada dasarnya APBN telah dicanangkan dengan defisit yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tahun lalu pada angka 2,27% terhadap PDB, sementara tahun ini 2,29%.
Baca Juga
Tidak menutup kemungkinan pula, pemerintah akan memanfaatkan defisit hingga batas teratas tersebut untuk mendorong belanja.
“Saya kira juga ada peluang akan berada pada kisaran pagu yang ditetapkan untuk tahun 2024 yaitu berada di kisaran 2,29% terhadap PDB,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (23/2/2024).
Yusuf menjelaskan penerimaan negara sangat bergantung pada harga komoditas unggulan Tanah Air, seperti batu bara.
Pada tahun pemilu ini, proyeksi dari harga komoditas utama di dalam negeri pun tidak akan setinggi dari capaian harga komoditas di tahun lalu. Yusuf mengatakan sehingga secara umum penerimaan negara dari aktivitas yang berkaitan dengan komoditas tersebut juga akan ikut turun.
Tercatat dalam dokumen APBN Februari 2024, harga batu bara telah anjlok 18,5% sepanjang tahun berjalan (year-to-date/ytd) menjadi US$119,3 per metrik ton. Sementara tahun lalu, harga batu bara bahkan sempat tembus ke angka US$400 per metrik ton.
Meski demikian, pemerintah memperkirakan harga batu bara akan mampu ke angka US$125,73 per metrik ton.
Di sisi lain, kondisi ekonomi global yang diramal melambat, bahkan Jepang dan Inggris telah masuk jurang resesi, turut mempengaruhi kinerja penerimaan negara.
“Artinya ketika perekonomian berpotensi melambat di tahun ini maka itu juga akan berdampak terhadap potensi penerimaan negara secara umum,” jelasnya.
Sementara dari sisi belanja, Yusuf melihat beberapa pos belanja memang ditargetkan untuk meningkat pada tahun ini seperti bantuan sosial (bansos) dan juga beberapa belanja pemilu.
Gencarnya belanja pun diperkirakan Yusuf akan terus berlanjut, utamanya belanja modal karena pemerintah memiliki target beberapa pembangunan infrastruktur, meski Sri Mulyani menerapkan blokir anggaran atau automatic adjustment.
Adapun, turunnya penerimaan negara terjadi baik berasal dari pajak maupun kepabeanan dan cukai yang masing-masing tercatat senilai Rp149,2 triliun dan Rp22,9 triliun pada Januari 2024. Termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang turun tipis menjadi Rp43,3 triliun.
Di samping hal tersebut, Bendahara Negara mengungkapkan pada bulan pertama 2024 ini kinerja APBN masih cukup baik dan momentum pertumbuhan ekonomi masih terjaga.
Belanja negara yang terealisasi pun sesuai dengan program dan prioritas nasional. Meski demikian, Sri Mulyani terus mewaspadai situasi global yang melemah.
“Kami harus mewaspadai situasi global masih cukup menantang dan kecenderungan masih lemah sehingga kami perlu menjaga sumber-sumber penerimaan dalam negeri,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Kamis (22/2/2024).