Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia kembali berencana membuka keran ekspor benih bening lobster (BBL). Padahal belum hilang dari memori kita bagaimana tahun 2021, akibat ekspor BBL, Menteri KKP Edy Prabowo masuk bui, akibat penyuapan dalam bisnis rantai pasoknya ke Vietnam.
Apa yang melatari pemerintah hendak membuka kembali ekspor BBL ini? Apakah ada intervensi kaum oligarki yang berniat meraup cuan cepat? Bukankah rencana ekspor bertolak belakang dengan agenda penghiliran yang digaungkan pemerintah dewasa ini? Atau, penghiliran memang hanya lip services.
Mestinya, penghiliran lobster bukan mengekspor benihnya ke Vietnam. Akan tetapi, membesarkannya di Indonesia hingga mencapai ukuran ekonomis. Nilai tambahnya (value added) lebih tinggi di pasar global.
Kebijakan privatisasi perikanan yang ugal-ugalan di Indonesia dewasa ini kerap diklaim mengatasi tragedi milik bersama (tragedy of common). Kenyataannya malah memicu tragedi menyeramkan yaitu tragedi komoditas (tragedy of commodity).
Privatisasi perikanan memicu tingginya tingkat eksploitasi dan ekstraksi sumberdaya ikan karena memasok permintaan dan kepentingan pasar global yang berlangsung secara terus-menerus.
Akibatnya, makin lama sumber daya ikan mengalami deplesi, disertai degradasi lingkungan ekosistemnya. Otomatis mata pencaharian masyarakat ikut turun drastis akibat pencemaran lingkungan, hingga budaya masyarakat lokal tergerus. Imbasnya, masyarakat pesisir mengalami kemiskinan ekstrem disertai ketimpangan ekonomi tinggi.
Baca Juga
Laporan Indef (2023) menyebutkan bahwa jumlah total orang miskin di Indonesia 26,16 juta orang dan 1,1 juta orang (4,2%) merupakan keluarga nelayan. Sejumlah 12,5 % dari seluruh penduduk yang tergolong tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia bermukim di wilayah pesisir.
Dewasa ini tragedi komoditas perikanan jadi perhatian berbagai pihak di seluruh dunia. Pasalnya, dalam produksi komoditas kapitalis mendorong perikanan menuju produksi intensif yang bertujuan mengakumulasi modal. Makanya, “alam” diintegrasikan dalam model bio-ekonomi dengan harapan bakal menentukan upaya tingkat penangkapan buat meraup keuntungan besar lewat investasi.
Faktanya, cara produksi tersebut malah memperparah penurunan stok sumber daya ikan. Terbukti, praktik privatisasi perikanan cod di Newfoundland dan tuna sirip biru di Atlantik (Ensor, 2016) nyaris menghancurkan kedua sumber daya ikan tersebut.
Persis sama dengan kebijakan privatisasi perikanan lobster di Southwest Nova Scotia dengan sistem kuota yang dapat dipindahtangankan (individual transferable quotas). Terbukti, nelayan skala kecil paling terimbas karena sulit bersaing dengan korporasi, utang menumpuk, serta gagal mempertahankan kemandiriannya dalam perikanan lobster. Imbasnya, cita-cita mewujudkan pemerataan sosial dan ekonomi gagal tercapai (Barnet et al 2017).
Kasus serupa ditemukan Ferguson et al (2022) dalam perikanan teripang di Palau, Pohnpei, dan Yap, gugusan pulau-pulau kecil di Pasifik yang mengalami penurunan stok/deplesi akibat eksploitasi tanpa batas. Imbasnya, nelayan skala kecil mengalami kemiskinan dan ancaman krisis pangan.
DAMPAK
Jika pemerintah ngotot membuka kembali kran ekspor BBL, berdampak, pertama, mempercepat tragedi komoditas lobster di berbagai daerah di Indonesia. Penulis menduga, BBL telah mengalami tragedi komoditas. Pasalnya, BBL dieksploitasi secara legal maupun ilegal untuk mensuplai permintaan pasar Vietnam tanpa pernah ketahuan berapa volume pastinya setahun.
Hingga kini masih dikategorikan “plasma nutfah” karena belum bisa dibenihkan di-hatchery. Imbasnya, pasokan benih buat pembudidayaan dalam negeri sepenuhnya menggantungkan benih tangkapan dari alam. Menariknya, Vietnam yang membesarkan lobster lewat budi daya justru menggantungkan suplai benihnya dari Indonesia.
Kedua, memasifkan praktik ekstraktivisme dalam perikanan lobster yakni suatu model pendekatan ekonomi yang menekankan eksploitasi sumberdaya alam (BBL) yang bakal dijual dalam bentuk bahan mentah ke pasar dunia (Gudynas, 2009), contohnya BBL. Ekstraktivisme perikanan lobster berimbas;
(i) memosisikan Indonesia sebagai suplai bahan baku (BBL) ke Vietnam yang membesarkan di negaranya untuk diekspor ke China, dan Amerika Serikat. Model ini sejatinya mencerminkan praktik arsitektur ekonomi ala kolonialisme yang memosisikan Indonesia sebagai negara pinggiran dan Vietnam sebagai pusat; dan,
(ii) kutukan sumber daya alam (resource curse) akibat ketergantungan ekonomi perikanan terhadap ekspor sumber daya alam, umpamanya BBL. Imbasnya, perlambatan penghiliran berupa pembenihan (hatchery) dan pembesaran dalam negeri, disfungsi politik akibat korupsi dan kapitalisme kroni, serta kepungan bencana alam akibat kerusakan lingkungan hingga perubahan iklim.
Rencana pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor BBL mesti ditinjau ulang. Praktik sebelumnya menyebabkan: kesulitan pasokan benih budi daya domestik, deplesi stok BBL di alam, korupsi dan kolusi, oligarki berpesta pora, serta kemiskinan ekstrem nelayan tradisional kian parah. Jalan terbaik disetop.