Bisnis.com, JAKARTA - Persetujuan impor (PI) garam industri tak kunjung diterbitkan. Hal ini terjadi menjelang penerapan kebijakan pelarangan terbatas (lartas) impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 yang akan berlaku pada Maret 2024.
Kebutuhan garam industri nasional secara keseluruhan masih mengandalkan impor dengan kisaran 2,9 juta ton. Adapun, kebutuhan chlor alkali plant (CAP) sebanyak 2,3 juta ton, aneka pangan 600.000 ton, dan farmasi 7.000 ton.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutra mengatakan, rekomendasi impor lewat sistem neraca komoditas (NK) telah keluar, tetapi pelaksanaannya terkendala di perizinan.
"Rekomendasi neraca komoditas sudah keluar, tapi [kendala] persetujuan impor belum keluar," kata Cucu kepada Bisnis, Senin (19/2/2024).
Kondisi ini dinilai dapat memengaruhi produktivitas industri dalam negeri. Sektor makanan dan minuman, misalnya, yang membutuhkan pasokan garam menjelang Ramadan.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) pun tengah berupaya mendorong Kementerian Perdagangan untuk segera mengeluarkan PI garam. Sebab, pesanan industri makanan dan minuman (mamin) diproyeksi akan meningkat 30% pada Ramadan.
Baca Juga
"Kebutuhan garam industri sekitar 500.000 ton dari impor sisanya dalam negeri, kalau dalam negeri untuk kebutuhan industri mamin sekitar 400.000-an," ujar Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mewanti-wanti pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan impor Permendag No. 36/2023, khususnya terkait impor bahan baku berorientasi ekspor.
Salah satu komoditas yang terhambat, yaitu garam industri untuk kebutuhan produksi ekspor industri kertas dan makanan minuman.
"Kami menemukan dalam beberapa pasal terkait pembatasan importasi bahan baku dan bahan pembantu terdapat kapasitas domestik industri hulu yang sangat terbatas," ujar Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani melalui siaran pers.