Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyetujui muatan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap awal Januari 2024 lalu.
Saat ini, revisi beleid itu telah masuk tahap perundang-undangan dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
“Sudah disetujui Presiden Jokowi, sudah ditandatangani Pak Menteri sekarang tinggal proses perundangan saja,” kata Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum diharapkan dapat menjadi jalan tengah. Sejauh ini, terdapat tarikan kepentingan PLN dengan industri dan masyarakat yang berinisiatif untuk meningkatkan pemasangan panel surya mendatang.
Beberapa kali inisiatif pembenahan beleid itu jalan di tempat lantaran kekhawatiran ihwal beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Persoalan lainnya yakni kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang saat ini masih ditanggung PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Belakangan, kata Feby, perbedaan perspektif antar kementerian dan lembaga itu bisa diatasi dengan ketentuan yang tertuang pada muatan revisi beleid panel surya ini.
Baca Juga
Dia mengatakan otoritas fiskal telah bersedia untuk mengalihkan APBN sebagai kompensasi atau subsidi apabila terjadi kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik pada sistem tertentu setelah adaopsi besar-besaran PLTS Atap di tengah masyarakat nantinya.
“Kalau misalnya nanti ada kenaikan BPP dari PLN itu nanti akan dibebankan ke negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata dia.
Sementara itu, dia menggarisbawahi, kementeriannya memutuskan untuk meniadakan aturan soal ekspor listrik yang dimaksudkan sebagai pengurang tagihan listrik konsumen yang memasang PLTS Atap.
Manuver itu disebutkan untuk menjaga beban keuangan perusahaan setrum pelat merah itu di tengah kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang terlanjur lebar saat ini.
Selain itu, kementerian ESDM disebutkan bakal meniadakan batasan kapasitas PLTS terpasang di tengah masyarakat untuk mengakselerasi percepatan investasi di sektor pembangkit tersebut.
Formula batas atas kapasitas terpasang bakal digantikan dengan skema kuota pengembangan.
“Kapasitas yang dipasang itu nantinya akan dipakai untuk konsumen itu sendiri jadi diharapkan konsumen memasang sesuai dengan kebutuhannya. Nanti akan disesuaikan dengan kuota, PLN akan mengeluarkan kuotanya,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, manuver pemerintah yang ingin menghapus mekanisme ekspor listrik dalam pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dianggap bertentangan dengan komitmen besar transisi energi secara masif di tengah masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, usulan pemerintah itu justru bakal mengerek biaya investasi serta operasi PLTS atap di pasar rumah tangga dan sosial. Konsekuensinya, investasi pemasangan panel surya menjadi tidak menarik untuk pasar residensial atau bisnis kecil dan menengah.
Lewat penghapusan skema ekspor listrik itu, pelanggan yang memiliki kapasitas berlebih dari pemasangan PLTS tidak lagi dapat menjual daya sisa ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebagai pengurangan tagihan listrik mereka.
“PLTS atap untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil menjadi tidak layak keekonomiannya karena pelanggan tegangan itu konsumsinya lebih banyak di malam hari bukan di siang hari,” kata Fabby saat dihubungi, Senin (16/1/2023).
Berdasarkan hitung-hitungan AESI, minimal pemasangan PLTS untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil berada di kisaran 1,5 kilowatt peak (kWp) sampai 2 kWp. Batas bawah pemasangan PLTS itu menghasilkan daya mencapai 6 kilowatt hour (kWh) sampai 8 kWh.
Biasanya rata-rata pemakaian efektif PLTS atap di Indonesia hanya di kisaran 40 persen. Sisanya, daya yang dihasilkan mesti diekspor ke jaringan PLN. Hitung-hitungan itu membuat pemasangan PLTS untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil tidak menarik. Apalagi akses untuk menjual kembali daya berlebih ke sistem jaringan PLN rencananya akan ditutup.
“Ketiadaan net-metering akan membunuh potensi PLTS atap di konsumen rumah tangga dan sosial,” kata Fabby.
Apalagi, dia mengatakan, potensi pemasangan PLTS atap untuk segmen pelanggan dengan penggunaan daya listrik rentang 2.200 volt ampere (VA) hingga 6.600 VA ke atas cukup prospektif.
Mengutip laporan Kementerian ESDM, jumlah keseluruhan pengguna golongan tarif itu mencapai 5,45 juta pelanggan. Rerata konsumsi listrik pelanggan 2.200 VA sampai 6.600 VA ke atas terentang dari 283 kWh hingga 1.359 kWh setiap pelanggan per bulannya.
Adapun, jumlah pelanggan rumah tangga golongan itu mengambil porsi hampir 30,2 persen dari keseluruhan penerima manfaat kompensasi listrik.
“Sebenarnya mereka berpotensi untuk memasang PLTS Atap, dengan ditiadakannya net-metering susah mereka, sedikit mungkin yang mau,” kata dia.