Bisnis.com, JAKARTA - Investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia dinilai telah memasuki titik jenuh. Ketidakpastian yang tinggi jadi sorotan, padahal tekanan untuk beralih menuju energi baru terbarukan (EBT) semakin menjadi keniscayaan.
Kepala Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menjelaskan indikator fenomena itu salah satu tercermin dari tidak tercapainya target realisasi investasi bidikan pemerintah.
Sekadar informasi investasi sektor ketenagalistrikan mencapai US$5,75 miliar dari target US$6,64 miliar pada 2023, alias hanya tercapai 87 persen dari target. Nilai ini tercatat setara dengan capaian 2022 dan turun dari periode 2021 yang nilainya US$6,71 miliar.
Abra menekankan bahwa tantangan yang paling mendasar mengenai investasi sektor ketenagalistrikan adalah persoalan kondisi eksisting, di mana kondisi permintaan tidak mampu menyerap produksi listrik yang sangat agresif dalam 10 tahun terakhir.
"Kondisi oversupply pada 2022 sekitar 6-7 GW, kemudian di 2023 masih ada sekitar 4 GW. Ini tercermin juga dari beberapa kali revisi RUPTL, di mana awalnya target pertumbuhan konsumsi listrik bisa tumbuh 8,7% per tahun, tapi realisasinya ternyata hanya 3,5% per tahun," ujarnya.
Selain itu, Indef pun mencatat kapasitas suplai listrik dengan energi listrik yang terjual itu surplus sekitar 25% dalam satu dekade terakhir, terutama setelah dicetuskannya mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW.
Baca Juga
Oleh sebab itu, menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus perkembangan industri pengolahan merupakan kunci agar investasi ketenagalistrikan keluar dari titik jenuh. Terlebih, buat investasi terkait independent power plant (IPP), terkhusus lagi buat investor pembangkit EBT.
"Jadi jangan melihat isu investasi IPP, terutama pembangkit EBT, itu secara parsial. Harus lihat juga dari sisi demand, kemudian kebutuhan dari industri dan sektor-sektor unggulan. Ketika memasuki era transisi energi, kalau sisi demand tidak dioptimalkan, nantinya hanya akan menambah beban biaya pokok penyediaan listrik," tambahnya.
Sementara itu, catatan lain soal kurang kondusifnya investasi di sektor ketenagalistrikan adalah banyaknya ketidakpastian, terutama hambatan-hambatan dalam menjangkau peluang exit strategy di masa depan.
Sebagai contoh, alotnya proses divestasi Mitsui & Co., Ltd terhadap Paiton Energy, salah satu IPP jumbo di Tanah Air, merupakan preseden nyata bagi pandangan investor ke depannya terhadap Indonesia.
Pasalnya, sampai saat ini pengalihan saham Mitsui yang tertunda ke RATCH Group asal Thailand dan Medco Indonesia masih tetap belum terselesaikan, meskipun transaksi tersebut sepenuhnya mematuhi Perjanjian Sponsor dan Perjanjian Sponsor Ekspansi, hukum yang berlaku di Indonesia, dan Mitsui pun telah bersurat ke berbagai pihak, termasuk regulator.
Padahal, divestasi Mitsui terhadap Paiton Energy telah mencuat sejak 2021. Mitsui berupaya melepas seluruh sahamnya di Paiton Energy yang mencapai 45,5%, tepatnya kepada RATCH sebesar 36,26% dan Medco sebesar 9,25%.
Nantinya, saham Paiton Energy yang sebelumnya dipegang Medco sebesar 28,48% akan menjadi 37,74%. Kemudian, Nebras Power Qatar selaku pemegang saham lama akan tetap sebesar 26%. Sementara RATCH Group melalui RH International Singapura Corporation Ltd akan memegang 36,26%.
Sejak dibangun pada 1994, Paiton Energy masih terikat power purchase agreement (PPA) jangka panjang sampai 2042, alias masih 18 tahun apabila dihitung dari tahun ini.
"Pada akhirnya, fenomena di Paiton menjadi cerminan bahwa cukup menantang melakukan investasi sektor energi di Indonesia. Ini ikut jadi perhatian investor, apalagi buat mereka yang akan bergerak di EBT. Ketidakpastian bukan hanya dari regulasi belum jelas, tapi juga dari banyak faktor," ungkap Abra.
Senada, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai bahwa saat ini investasi sektor ketenagalistrikan semakin menantang karena tren transisi energi. Di sisi lain, IPP batu bara pun masih dibutuhkan dan beberapa masih berproses untuk memulai operasi.
"Memang tata kelola dalam pembangkit listrik di Indonesia memungkinkan banyak pihak berebut kepentingan. Parahnya lagi, ketidakpastian itu banyak yang datang dari pengambil keputusan atau pengambil kebijakan. Hal ini pula yang ikut membuat investasi pembangkit EBT di Indonesia jadi kurang menantang," jelasnya.
Hal ini ditambah belum menariknya harga beli PLN terhadap listrik yang diproduksi pembangkit EBT. Nilai keekonomian dan kepastian regulasi masih jadi persoalan pelik di mata investor.
Padahal, pemerintah sendiri memiliki target yang cukup ambisius dalam meningkatkan bauran pembangkit EBT mencapai 23% pada tahun depan dan mencapai 51,6% pada 2030. Nyatanya, progresnya pada akhir tahun lalu baru bisa mencapai 13%.
"Saya kira kalau iklim investasi ketenagalistrikan masih juga kurang kondusif, ini akan semakin berat lagi buat pemerintah dalam rangka mengejar bauran pembangkit EBT ke depan," tutup Fahmy.