Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI), Dwi Andreas membeberkan penyebab proyek Food Estate pemerintah selalu gagal di setiap era. Pelaksananan Food Estate disebut selalu mengabaikan kaidah akademis soal faktor kelayakan pengembangan lahan pertanian.
Andreas menjabarkan kegagalan sejumlah proyek Food Estate sejak era Orde Baru hingga era Joko Widodo (Jokowi) berdasarkan pengalamannya. Pada 1996, pemerintah mencanangkan 1,4 juta hektare lahan gambut untuk pangan yang akan digarap para transmigran di Kalimantan.
Namun, realisasinya pada 1998 hanya digarap seluas 30.000 hektare di Blok A untuk 15.000 transmigran. Selanjutnya pada 1999 program tersebut dibatalkan.
"Padahal untuk merusaknya [lahan gambut] keluar dana Rp3 triliun. Hilang uangnya dan terjadi kerusakan yang besar. Di lahan gambut itu Pada 2015 terjadi pusat karhutla terbesar di Indonesia ada 135 titik, dan itu sumbernya di gambut 1 juta hektare itu," ujar Andreas dalam diskusi publik, Selasa (23/1/2023).
Lebih lanjut, dia menyebut proyek Food Estate di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2008 seluas 1,2 juta hektare pun gagal. Saat itu, SBY berupaya membagikan lahan untuk digarap kepada 37 investor.
"Hasilnya apa? Saya sempat diskusi dengan salah satu investornya, dia bilang dulu datang ke Merauke sebagai gajah, keluar sebagai semut. Gagal total," ungkap Andreas.
Baca Juga
Selain itu, Andreas juga menyebut Food Estate Bulungan seluas 30.000 hektare dan Food Estate Ketapang seluas 100.000 hektare pada 2013 gagal total.
Kemudian, pada 2015 di era Jokowi mencanangkan Food Estate lewat program Rice Estate di Merauke pun ikut gagal. Lalu, Andreas menyebut pada 2020-2021 dirinya dilibatkan dalam Food Estate di Kalimantan Tengah untuk membantu BUMN pangan terlibat dalam proyek pangan tersebut. Namun, setelah diuji coba, ternyata produktivitas beras di sana rata-rata hanya 0,89 ton gabah kering panen (GKP) per hektare.
"Itu kenyataan yang terjadi," ucapnya.
Andreas menilai, deretan kegagalan Food Estate terjadi lantaran proyek pangan ambisius itu selalu mengabaikan kaidah akademis pengembangan lahan pertanian. Adapun empat pilar yang harus dipenuhi dalam menjalankan proyek pengembangan lahan pangan antara lain kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur dan kelayakan sosial ekonomi.
"Seluruh Food Estate di Indonesia melanggar kaidah akademis dan melanggar 4 pilar ini. Padahal ini harus perfect semua sebelum proyek tersebut berjalan dan menguntungkan. Satu saja pilar ini tidak diikuti pasti gagal," jelasnya.
Sebelumnya, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres nomor urut 02 Mahfud MD kompak menyinggung soal kegagalan proyek Food Estate dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Muhaimin menilai upaya pengadaan pangan melalui proyek Food Estate selama 10 tahun terakhir telah mengabaikan petani, meninggalkan masyarakat adat serta menghasilkan konflik agraria.
Senada, cawapres nomor urut 03 Mahfud MD juga menyoroti program Food Estate yang dianggap gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan justru merusak lingkungan.
"Jangan seperti Food Estate yang gagal yang merusak lingkungan. Rugi dong kita," ucap Mahfud dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024).
Sebaliknya, cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka justru mengklaim masih ada program Food Estate yang berhasil. Pembelaan Gibran muncul seiring kritik kegagalan Food Estate dari dua cawapres lainnya.
"Nomor 1 dan 3 ini kan kompak bilang Food Estate gagal. Saya tegaskan sekali lagi ya pak, memang ada yang gagal, tapi ada yang berhasil juga yang sudah panen," ujar Gibran.
Dia menyebut bahwa Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah menjadi salah satu lokasi berhasil. Bahkan Gibran mengklaim Food Estate Gunung Mas sudah berhasil menghasilkan panen singkong dan jagung.
"Di Gunung Mas Kalteng itu sudah panen jagung, singkong. Cek saja datanya," sebut Gibran.