Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi 'Gudang Karbon' Mahal, Pemerintah Dorong Konsep CCS Hub

Pemerintah mendorong pengembangan CCS hub untuk menekan biaya investasi fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) domestik.
Menara pendingin dan cerobong asap PLTU batu bara di Mpumalanga, Afrika Selatan yang dipotret pada Jumat (5/5/2023). Bloomberg/Waldo Swiegers
Menara pendingin dan cerobong asap PLTU batu bara di Mpumalanga, Afrika Selatan yang dipotret pada Jumat (5/5/2023). Bloomberg/Waldo Swiegers

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah mendorong pengembangan CCS hub untuk menekan biaya investasi fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) domestik.

Konsepnya, pemerintah bakal menarik industri hilir saling berdekatan sebagai collective emitter untuk menekan biaya angkut karbon dalam suatu kawasan reservoir penyimpanan karbon. Dengan demikian, biaya transportasi hingga penyimpanan karbon itu bisa ditekan seminimal mungkin.

“Jadi ada industri yang menghasilkan emisi dan berdekatan nanti transportasi [karbon] lebih gampang kalau berdekatan bisa pakai pipa atau shipping kalau offshore,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Carbon Capture and Storage (ICCS) Belladona Troxylon Maulianda saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/1/2024).

Belladona mengatakan, saat ini biaya investasi serta operasi CCS di dalam negeri terbilang mahal. Hal itu disebabkan karena Indonesia belum memiliki teknologi dan kemampuan kapasitas manufaktur untuk membuat rantai pasok fasilitas tangkap karbon itu.

Kementerian ESDM melaporkan biaya pengembangan CCS sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan karbon dioksida (CO2), yakni sekitar 73% dari keseluruhan biaya.

Berdasarkan studi Economic Research Institute for Asean and East Asia (ERIA), biaya penangkapan karbon sekitar US$45,92 per ton dan penyimpnannya sekitar US$15,93 per ton.

“Makanya perlu menemukan industri domestik untuk mendukung semua value chain, jadi one of economic benefits dengan CCS bisa menumbuhkan industri baru dan menurunkan biaya teknologi,” kata Belladona.

Sementara itu, menurut riset Boston Consulting Group (BCG), nilai pasar dari CCS pada 2030 diproyeksikan mencapai US$134 miliar, yang berasal dari kegiatan penyimpanan, transportasi, hingga penangkapan karbon.

Selanjutnya, nilai transaksi CCS pada 2040 diperkirakan melesat ke angka US$440 miliar atau naik 26% dari posisi pada 2020 di level US$4 miliar.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan, banyak perusahaan minyak dan gas (migas) kelas wahid, seperti BP, ExxonMobil, hingga Chevron ingin menjadi operator sejumlah reservoir penyimpanan karbon di Indonesia.

Arifin mengatakan, ketertarikan sejumlah perusahaan migas global itu dipantik oleh potensi kapasitas penyimpanan atau storage karbon yang terbilang besar dari beberapa lapangan migas yang telah habis dikuras.

“Sudah banyak yang berebut masuk untuk bisa mengoperasikan lapangan-lapangan ini, Exxon, Chevron, BP sudah langsung mulai di Tangguh, selain bisa menampung karbon untuk mengurangi emisi, juga bisa mendorong industri kita nanti sebagai carbon hub,” kata Arifin di Jakarta, Rabu (5/7/2023) malam.

Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin.

Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar, yaitu sekitar 80 giga ton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.

“Kita bisa lakukan perdagangan, eh you mau nyimpan bayar, contohnya Jepang, Korea punya program menyimpan 100 juta ton CO2 cairnya setiap tahun, kalau carbon prices dinilai US$60 sampai US$100 per tahun, nanti potong ongkos-ongkos macam-macam, kita potensi dapat devisa dari 400 giga ton tersebut,” kata dia.

Malahan, Arifin menambahkan, Indonesia berpotensi memanfaatkan hanya 25% dari reservoir penyimpanan karbon itu hingga 2060. Sisanya, kata dia, dapat dipakai sebagai hub untuk diperdagangkan dengan beberapa negara lain yang minim fasilitas tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper