Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prabowo Sentil IMF soal Krisis 1998: Saya Bukan Anti Barat, Tapi...

Prabowo Subianto menyinggung Dana Moneter Internasional (IMF) dalam dialog bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Juamt (12/1/2024).
Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto memberi keterangan dalam Seminar Nasional Giant Sea Wall, di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (10/1/2024). JIBI/Erta Darwati.
Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto memberi keterangan dalam Seminar Nasional Giant Sea Wall, di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (10/1/2024). JIBI/Erta Darwati.

Bisnis.com, JAKARTA – Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) nomor urut 2 menyinggung Dana Moneter Internasional (IMF) dalam dialog bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jumat (12/1/2024). 

Saat menjawab pertanyaan terkait ketahanan pangan, Prabowo menjelaskan bahwa pada krisis moneter 1998 silam, Indonesia menyerah kepada IMF. 

Bukannya sembuh, rekomendasi dari IMF justru menjadi jebakan bagi Tanah Air. 

Menurutnya, kala itu, pengelolaan pangan sudah baik di zaman Soeharto, di mana Bulog melaksanakan operasi pengendalian pangan di petani dan konsumen di kota. Namun, dirinya menyayangkan, RI yang menyerah kepada IMF. 

“Waktu itu kita menyerah kepada IMF, kita percaya bahwa mereka cinta sama kita. Padahal tidak ada, dalam hubungan antarnegara tidak ada rasa cinta, yang penting adalah kepentingan mereka, kalau kita ambruk, tak ada urusan dengan mereka,” ujarnya.

Prabowo menekankan bahwa dirinya bukan anti barat, namun dirinya berharap agar RI tidak terlena dengan dunia Barat. 

“Saya bukan anti barat, saya cinta dengan barat, tapi masalahnya, kadang barat tidak cinta sama kita,” tuturnya. 

Sebagaimana diketahui, saat krisis moneter 1998, IMF memberikan resep pemulihan ekonomi Tanah Air. Dalam Letter of Intent (LOI) yang ditantangani Soeharto, IMF merekomendasikan RI untuk memangkas subsidi bansos. 

Berdasarkan indeks berita Bisnis.com, IMF melarang Bank Indonesia mengucurkan kredit likuiditas termasuk kredit kepada Bulog untuk pangan, serta meminta pemerintah untuk membuka keran impor produk-produk pertanian pangan dan nonpangan dengan menurunkan bea masuk impor dari 5% menjadi 0%.

Alhasil, Bulog kehilangan peranannya sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan terutama beras.

Bahkan, pembukaan keran impor pangan menjadi bumerang dengan memunculkan kekuatan swasta dalam mengendalikan harga pangan.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper