Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Duh! Ada 4 Wilayah yang Tetapkan Upah Minimum Tak Sesuai Aturan

Apindo menemukan terdapat sejumlah wilayan yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) maupun kabupaten/kota (UMK) tidak sesuai dengan PP No. 5.
Seorang pekerja berjalan kaki untuk menuju kawasan MM 2100 saat aksi buruh di  Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (30/11/2023). Aksi buruh yang menuntut kenaikan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tersebut berdampak kemacetan kendaraan dari Tol Jakarta-Cikampek yang menuju kawasan industri MM 2100. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
Seorang pekerja berjalan kaki untuk menuju kawasan MM 2100 saat aksi buruh di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (30/11/2023). Aksi buruh yang menuntut kenaikan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tersebut berdampak kemacetan kendaraan dari Tol Jakarta-Cikampek yang menuju kawasan industri MM 2100. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menemukan terdapat sejumlah wilayan yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) maupun kabupaten/kota (UMK) tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023. 

Wakil Ketua bidang Ketenagakerjaan Apindo Darwoto mengungkapkan dari data yang dirinya dapatkan, keempat provinsi tersebut mayoritas berada di Pulau Jawa. 

“Ada berapa provinsi, menurut data Apindo, yaitu Jateng, Jatim, DIY, dan Lampung. Ada empat tapi mungkin lebih dari empat. Mereka menetapkan upah minimum provinsi maupun kab/kota tidak sesuai,” ungkapnya dalam Outlook Ekonomi dan Bisnis Apindo 2024, Kamis (21/12/2023). 

Mengacu data yang Bisnis himpun, Jawa tengah tercatat menaikkan besaran upah minimum 4,02% menjadi Rp2,03 juta. Sementara D.I. Yogyakarta naik tertinggi kedua sebesar 7,27% menjadi Rp2,12 juta, setelah Maluku utara yang tercatat memiliki kenaikan tertinggi sebesar 7,5%. 

Selanjutnya, Jawa Timur dan Lampung masing-masing menaikkan upah minium provinsi sebesar 6,13% menjadi Rp2,16 juta dan 3,16% menjadi Rp2,71 juta. 

Pelaku usaha mengaku menyambut baik adanya beleid terkait penguapahan yang merupakan revisi dari PP No. 36/2021 tersebut. Namun pihaknya menyayangkan adanya gubernur yang menetapkan upah minimum belum sesuai dengan PP yang berlaku.

Dalam PP tersebut, formulasi upah terdiri dari tiga variabel yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan dalam bentuk α.

Meski terdapat empat provinsi yang melaksanakan sesuai ketentuan, Darwoto menekankan tidak semua kab/kota dalam provinsi tersebut juga melakukan hal serupa. 

“Ada beberapa kab/kota di provinsi tersebut sudah sesuai, ini sudah dilakuan evaluasi oleh dewan pengupahan nasional dan Menaker sudah bersurat ke gubernur tersebut untuk mengingatkan,” pungkasnya. 

Faktanya, ketidaksesuaian ini bermula dengan adanya politisasi dari upah yang terjadi di setiap daerah. 

Darwoto mengungkapkan, tren kenaikan upah sebagai alat politik para kepala daerah menyebabkan disparitas upah di wilayah, misalnya untuk kab/kota di Jawa Barat. 

“Disparitas upah minimum terjadi karena selama ini terjadi politisasi oleh kepala daerah, karean dia maju periode berikutnya, mereka menjanjikan kebijakan semacam itu. Ini harus dihentikan karena tidak mempunyai daya saing lagi antardaerah,” tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper