Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia National Air Carriers Association (INACA) pesimistis target 74,7 juta penumpang pesawat pada akhir 2023 akan tercapai seiring dengan keterbatasan jumlah pesawat dan kondisi keuangan maskapai yang kurang optimal.
Sekretaris Jenderal INACA Bayu Sutanto, memperkirakan total pergerakan penumpang pesawat domestik hingga akhir 2023 adalah sekitar 70,8 juta penumpang. Jumlah tersebut terdiri dari 66,8 juta pergerakan penumpang reguler ditambah 4 juta perkiraan jumlah pergerakan penumpang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024.
Bayu memaparkan, jumlah tersebut sebenarnya sudah melebihi pergerakan penumpang domestik 2022 yaitu 56,4 juta pergerakan penumpang. Namun, jumlah tersebut masih di bawah target 2023 yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub sebanyak 74,7 juta pergerakan penumpang.
”Jika dibandingkan dengan 2019 atau sebelum pandemi di mana jumlah pergerakan penumpang domestik mencapai 79,5 juta pergerakan maka rate recovery-nya adalah 89%,” jelas Bayu dalam siaran pers, Selasa (19/12/2023).
Bayu memaparkan, pencabutan status pandemi Covid-19 sebenarnya memberi dampak positif terhadap beragam sektor perekonomian di Indonesia. Namun, dia memandang bisnis penerbangan nasional masih mengalami kendala dan belum bisa mencapai target yang ditetapkan.
Dia menjelaskan, tidak tercapainya target jumlah pergerakan penumpang 2023 dikarenakan beberapa kendala yang masih dihadapi oleh industri penerbangan tanah air. Pertama, kendala jumlah pesawat yang dioperasikan oleh maskapai nasional. Hal ini berimbas pada berkurangnya jumlah kapasitas kursi yang disediakan oleh maskapai untuk penerbangan domestik.
Baca Juga
Pada 2019, jumlah pesawat yang beroperasi sekitar 650 unit dan pasca pandemi jumlah pesawatnya menyusut menjadi sekitar 450 unit. Jumlah kapasitas kursi yang dapat disediakan pada tahun 2019 mencapai 141,3 juta kursi, sedangkan hingga Oktober 2023 jumlah kursi yang tersedia adalah 67 juta kursi dengan tingkat keterisian pesawat 76%.
Berkurangnya jumlah pesawat dikarenakan beberapa hal, yaitu terganggunya supply chain bahan baku dan suku cadang (sparepart) pesawat. Hal tersebut seiring dengan bergejolaknya geopolitik di dunia seperti krisis Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel.
Dia menjelaskan, stok sparepart pesawat di pasar internasional menipis. Sehingga, maskapai harus memberi uang panjar atau membayar lunas di depan untuk mendapatkan suku cadangnya.
Kedua, kendala finansial maskapai penerbangan yang terganggu akibat pandemi Covid-19. Pada saat pandemi, jumlah penumpang pesawat menurun hingga 60%, sehingga pendapatan maskapai juga menurun.
“Namun di sisi lain biaya-biaya yang tetap harus dikeluarkan maskapai masih sangat besar yaitu untuk bayar sewa pesawat, biaya perawatan dan perbaikan pesawat serta biaya pengelolaan SDM dan yang lainnya,” jelas Bayu.
Selain itu, kondisi finansial maskapai penerbangan juga terganggu karena tarif yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 2019 sampai saat ini belum dilakukan revisi. Padahal, komponen-komponen untuk penyusunan tarif tersebut saat ini sudah berubah seperti harga avtur yang sudah naik serta semakin lebarnya perbedaan kurs mata uang rupiah dan dolar AS.
“Untuk membayar sewa pesawat, membeli sparepart dan kegiatan lainnya maskapai menggunakan dolar AS, sedangkan pendapatan maskapai dari rupiah,” kata Bayu.