Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia National Air Carriers Association atau INACA menyambut positif kebijakan terbaru pemerintah yang memberikan diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tiket pesawat domestik.
Namun, sejumlah tantangan struktural masih menjadi pekerjaan rumah untuk mengembalikan gairah industri penerbangan nasional pasca pandemi.
Sekjen INACA Bayu Sutanto menilai kebijakan ini masih dapat diterima oleh pelaku usaha selama tidak menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) yang berlaku sejak 2019.
Skema diskon PPN ini disebutnya mirip dengan yang diterapkan saat Nataru 2024/2025 dan Lebaran 2025 kemarin, meski kali ini tanpa diskon Passenger Service Charge (PSC) bandara.
Meski demikian, Bayu menyebut perlu waktu untuk melakukan penyesuaian sistem agar prosedur diskon PPN dapat berjalan mulus. Ia menilai, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan sisi permintaan di tengah kecenderungan daya beli masyarakat yang menurun.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan insentif ini masih harus dilihat dari dampaknya dalam beberapa waktu ke depan terhadap pertumbuhan industri.
Baca Juga
"Kami masih melihat nanti seberapa besar dampaknya bagi pertumbuhan industri. Tapi dari tujuannya adalah untuk meningkatkan sisi permintaan dengan adanya kecenderungan daya beli yang menurun," katanya kepada Bisnis, Kamis (19/6/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa struktur biaya operasional maskapai yang terus meningkat tidak lagi terakomodasi oleh TBA yang berlaku sejak 2019.
Dia melihat perlunya urgensi dari pemerintah agar segera merevisi kebijakan TBA agar lebih mencerminkan realitas biaya operasi dan perawatan yang kini jauh lebih tinggi.
Selain soal tarif, pelaku usaha juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan fiskal yang lebih mendukung.
"Untuk sisi efisiensi biaya, perlu kebijakan duty free regulation untuk importasi suku cadang yang 100% masih diimpor sesuai dengan Trade on Civil Aircraft Agreement yang diatur melalui Tokyo Round WTO," imbuhnya.
Selebihnya, dia juga berharap ada pembebasan PPN untuk bahan bakar dan tiket penerbangan domestik,sebagaimana yang berlaku untuk penerbangan internasional.
Bayu juga menyoroti kapasitas armada industri penerbangan nasional yang mencerminkan masih belum pulih sepenuhnya. Adapun dari sekitar 700 pesawat sebelum pandemi, saat ini hanya sekitar 350 pesawat yang laik operasi.
Hal ini mencerminkan bahwa pendapatan industri belum cukup untuk menghidupkan kembali armada yang menganggur.
Selain itu, rendahnya tingkat pengembalian investasi dan ketidakpastian rasio pendapatan terhadap biaya usaha juga membuat investor baru belum tertarik masuk ke industri ini.