Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Geopolitik dan Fragmentasi Perdagangan Global

Keputusan investor tidak lagi berdasarkan upah murah di sebuah negara, tetapi lebih pada kesamaan geopolitik.
Kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Peti Kemas Batu Ampar telah menggunakan crane./Istimewa
Kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Peti Kemas Batu Ampar telah menggunakan crane./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Era perdagangan bebas kini tampaknya sudah tinggal cerita. Ketergantungan ekonomi memudar dan perdagangan dunia cenderung makin tertutup.

Kerja sama antarnegara cenderung makin terfragmentasi dalam kelompok kecil berdasar persamaan ideologi dan kepentingan ekonomi. Banyak negara lebih memikirkan kepentingan internalnya sendiri dan berebut untuk mengamankan rantai pasokan strategis. Perdagangan bebas tidak lagi populer. Banyak negara kini lebih memilih melakukan distorsi perdagangan.

Keunggulan liberalisasi perdagangan seperti digagas Adam Smith tidak lagi dirasakan manfaatnya. Untuk kelangsungan usaha dan memastikan keuntungan yang bisa dipetik, banyak negara akhirnya lebih memilih mengembangkan aliansi hanya kepada kelompoknya sendiri. Sistem perdagangan global kini berkembang makin renik dan terfragmentasi.

Keputusan investor tidak lagi berdasarkan upah murah di sebuah negara, tetapi lebih pada kesamaan geopolitik. Inilah yang menyebabkan kondisi perekonomian global cenderung meredup.

Meningkatnya restriksi dagang dan proteksionisme yang berkembang di berbagai negara menyebabkan perdagangan global tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 0,8 persen. Angka ini lebih rendah daripada proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia sebelum yang optimis mencapai 1,7 persen. Bukan tidak mungkin, perlambatan pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini dan tahun depan bisa berkembang lebih tajam jika restriksi perdagangan serta proteksionisme terus berlanjut.

Perubahan kondisi geopolitik yang belakangan ini makin panas, terjadinya fragmentasi perdagangan global memang tidak terhindarkan.

Berbeda dengan era perdagangan bebas di masa sebelumnya, saat ini terjadinya peningkatan proteksionisme menyebabkan tidak sedikit pelaku usaha kebakaran jenggot. Terjadinya lonjakan tajam restriksi perdagangan menyebabkan tren liberalisasi yang terjadi selama abad ke-20 terancam berakhir.

Munculnya ketegangan global akibat konflik antarnegara dan masyarakat menjadikan posisi negara menjadi terjepit. Wacana tentang liberalisasi perdagangan kini tinggal hanya mimpi. Negara-negara yang dulu dikenal sebagai penggagas utama wacana liberalisasi perdagangan, kini justru berbalik arah.

Negara yang dikenal dekat dengan Eropa, misalnya tentu menyambut baik kebijakan proteksionisme yang dimunculkan negara-negara Eropa. Tetapi masalahnya negara-negara lain yang dinilai bersebrangan pandangan, niscaya akan mengalami hal yang bertolak-belakang. Demikian juga negara yang dulu berkoalisasi dengan Rusia atau China. Akibat fragmentasi perdagangan global, kemungkinan untuk mengembangan perdagangan bebas menjadi terhambat. Pintu-pintu perdagangan antarnegara kini tidak lagi terbuka.

Pertama, fragmentasi perdagangan global niscaya akan menyebabkan peta aliansi perdagangan antarnegara niscaya berubah total. Bila sebelumnya peluang untuk menjalin hubungan bileraliteral dan multilateral untuk kegiatan perdagangan sangat terbuka, kini peluang itu nyaris tertutup.

Masing-masing negara lebih mementingkan dirinya sendiri, dan karena perbedaan ideologi politik dan ekonomi, mereka tak segan untuk menutup diri dari tawaran perdagangan negara yang dinilai lawan. Saat ini, kebanyakan negara cenderung hanya mau berdagang dengan negara yang dekat, dianggap sebagai teman, atau memiliki kesamaan aliansi politik.

Kedua, fragmentasi perdagangan global akan menyebabkan terjadinya inefisiensi karena kenaikan harga dari produk-produk yang dihasilkan berbagai negara. Akibat sikap masing-masing negara cenderung hanya mengedepankan kepentingan negara dan sekutunya, maka harga produk yang diperdagangkan tentu akan berbeda –tergantung kepada posisi negara di mana produk itu ditawarkan. Bukan tidak mungkin terjadi, untuk negara yang menjadi sekuru harga produk dijual wajar. Sementara itu untuk negara yang menjadi lawan ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi. Bahkan bisa saja sama sekali tidak ditawarkan.

DAMPAK BAGI INDONESIA

Bagi Indonesia, perkembangan fragmentasi perdagangan global niscaya akan mempengaruhi kinerja perekonomian nasional, terutama kinerja ekspor. Akibat fragmentasi perdagangan global, selain terjadi penurunan dalam permintaan produk Indonesia dan kinerja ekspor, bisa dipastikan efek bola salju arus balik perdagangan bebas ini akan memukul kelangsungan usaha para pengusaha di tanah air.

Munculnya peraturan-peraturan baru yang menghambat ekspor produk dari sebuah negara ke negara lain, bisa atas nama kelestarian lingkungan, melawan ancaman deforestasi dan lain sebagainya. Apa pun bentuknya penerapan kebijakan perdagangan global yang terfragmentasi menyebabkan peluang Indonesia untuk mengembangkan perdagangan ke level dunia menjadi lebih sulit.

Perjanjian Anti-dumping, dan Perjanjian Tarif Umum dan Perdagangan (GATT) 1994 yang semula dimaksudkan untuk mendukung liberalisasi perdagangan, kini hanya menjadi macan di atas kertas, sehingga akibat yang mesti ditanggung Indonesia pun mengalami kerugian karena hambatan-hambatan baru yang muncul.

Pengalaman telah banyak mengajarkan, restriksi perdagangan yang terjadi di berbagai negara sering menjadi penghambat bagi pertumbuhan perdagangan sebuah kawasan –tak terkecuali Indonesia. Menurut data, bulan Januari-Oktober 2023, total ekspor nonmigas Indonesia hanya senilai 201,25 miliar dollar AS atau turun 12,74 persen dibandingkan periode sama 2022.

Komoditas penyumbang penurunan ekspor tersebut adalah bahan bakar mineral, terutama batubara, serta lemak dan minyak hewani/nabati, terutama minyak sawit. Walau pun masih termasuk surplus, yakni pada Januari-Oktober 2023 sebesar 47,02 miliar dollar AS. Tetapi, surplus tersebut sebetulnya turun cukup signifikan dibandingkan surplus neraca perdagangan nonmigas pada Januari-Oktober 2023 yang mencapai 66,41 miliar dollar AS.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, secara keseluruhan, ekspor Indonesia pada Juni 2023 turun 5,08% dibanding Mei 2023, menjadi sebesar USD20,61 Miliar. Penurunan ekspor, baik di sektor migas dan nonmigas, disebabkan oleh penurunan harga komoditas ekspor unggulan.

Sementara itu, harga komoditas ekspor unggulan yang menurun merupakan penyebab pertumbuhan negatif ekspor industri pengolahan nonmigas pada Juni 2023. Ekspor industri pengolahan nonmigas pada Juni 2023 adalah sebesar US$15,25 Miliar, turun 2,24% dibandingkan Mei 2023. Namun demikian, secara volume, ekspor pada Juni 2023 meningkat sebesar 13,94% (month to month) menjadi 11,51 juta ton.

Penurunan kinerja ekspor dan impor sudah barang tentu akan berpengaruh pada kondisi sektor industri manufaktur Indonesia. Untuk Mengantisipasi agar dampak negatif fragmentasi perdagangan global tidak membuat Indonesia bagi menderita, Indonesia mau tidak mau harus membangun fundamental perekonomian yang benar-benar kokoh.

Ketika pelaku ekonomi nasional hanya jago kandang dan tidak memiliki kemampuan berkontestasi yang kuat di pasar global, jangan harap dampak negatif fragmenmtasi perdagangan global dapat kita atasi. Bagaimana pendapat anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper