Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan enam temuan yang memuat enam permasalahan dalam laporan keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022. Hal itu terdiri dari tiga permasalahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan tiga permasalahan ketidakpatuhan.
“Permasalahan tersebut tidak mempengaruhi secara material terhadap kewajaran penyajian LK OJK Tahun 2022,” tulis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023 (IHPS I 2023) dikutip Rabu (6/12/2023).
Pertama BPK mengungkap bahwa OJK tidak mengenakan pungutan kepada 242 lembaga keuangan mikro (LKM), 105 ahli syariah pasar modal (ASPM), dan 13 layanan urun dana (LUD) yang telah memperoleh izin usaha dari OJK.
Hal tersebut menyebabkan potensi kekurangan pendapatan pungutan biaya tahunan pada 2022 minimal sebanyak Rp2,56 miliar dari LKM. Sementara untuk potensi kekurangan pendapatan pungutan dari ASPM dan LUD, BPK belum dapat memperhitungkannya.
Terkait masalah tersebut, BPK pun merekomendasikan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar untuk melakukan beberapa hal. Termasuk kajian teknis tentang penetapan besaran tarif pungutan atas LKM dan koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendapatkan tingkat kemajuan dalam usulan penyempurnaan peraturan pemerintah mengenai tarif pungutan industri jasa keuangan lainnya di sektor pasar modal, yaitu ASPM dan LUD.
Tidak hanya sampai disitu, BPK menyebut OJK juga belum mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas biaya personel pada kontrak pengadaan jasa petugas layanan konsumen.
Baca Juga
“Hal ini mengakibatkan kekurangan penyetoran PPN sebesar Rp1 miliar,” tulis BPK.
BPK pun merekomendasikan Mahendra untuk memerintahkan Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen menyelesaikan kekurangan pengenaan PPN ke kas negara sebanyak Rp1 miliar.
Permasalahan lainnya terkait dengan pembayaran biaya ujian sertifikasi dan registrasi keanggotaan tahun pertama pada kontrak pengadaan jasa konsultasi pelatihan dan ujian sertifikasi profesi internasional certified fraud examiner (CFE) menggunakan kurs asumsi berdasarkan tagihan rekanan. Hal tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran karena selisih kurs sebesar Rp100,75 juta.
“BPK merekomendasikan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK agar memerintahkan Deputi Komisioner SDM dan Manajemen Strategis untuk meminta PPK menagihkan kelebihan pembayaran karena selisih kurs tersebut kepada rekanan sebesar Rp100,75 juta dan menyetorkan ke rekening OJK, untuk selanjutnya menyetorkannya ke kas negara,” ungkap BPK.
Berdasarkan LK OJK Tahun 2022 (audited), nilai aset, liabilitas, dan aset neto per 31 Desember 2022 masing-masing sebesar Rp11 triliun, Rp3,12 triliun, dan Rp7,88 triliun. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK memberikan opini WTP atas LK OJK Tahun 2022.