Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung potensi denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dari PT Freeport Indonesia (PTFI) mencapai US$501,94 juta atau setara dengan Rp7,77 triliun (asumsi kurs Rp15.490 per dolar AS).
Hitung-hitungan itu berasal dari data realisasi penjualan ekspor Freeport selama periode keterlambatan sebelum masa perpanjangan izin ekspor berlaku tengah tahun ini.
“Hal ini mengakibatkan negara berpotensi tidak segera memperoleh penerimaan denda administatif dari PTFI sebesar US$501,94 juta,” tulis BPK lewat ringkasan laporan pemeriksaan semester I/2023, dikutip Selasa (5/12/2023).
Denda itu berdasar pada perhitungan realisasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian Freeport yang tidak sesuai dengan ketentuan. BPK menemukan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan sebelum adanya perubahan rencana pembangunan tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik.
Hasil perhitungan persentase kemajuan fisik dibandingkan dengan rencana kumulatif menggunakan kurva S awal menunjukkan kemajuan yang dicapai Freeport tidak mencapai 90%.
“Sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan denda administratif keterlambatan pembangunana fasilitas pemurian dan mineral logam,” kata dia.
Baca Juga
BPK menyarankan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menetapkan kebijakan mengenai kejelasan formula perhitungan denda keterlambatan pembangunan smelter tersebut. Selanjutnya, bunyi rekomendasi badan audit itu, untuk menyampaikan penetapan denda kepada PTFI dan menyetorkan ke kas negara.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian ESDM tengah memfinalisasi besaran denda administratif atau penalti keterlambatan pembangunan smelter dari lima perusahaan mineral logam yang mendapat relaksasi ekspor konsentrat hingga 31 Mei 2024.
Saat itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya masih menghitung besaran denda yang mesti dibayar lima pemegang izin usaha pertambangan/izin usaha pertambangan khusus (IUP/IUPK) yang telah menyelesaikan 50% pembangunan smelter mereka masing-masing.
“Kan sudah ada rumusnya, orang denda lagi kita siapin angkanya, belum ada yang disetor,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Pemerintah memberi kelonggaran izin ekspor konsentrat pada PT Freeport Indonesia (tembaga), PT Amman Mineral Nusa Tenggara (tembaga), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (besi), dan dua smelter milik PT Kapuas Prima Coal, yakni PT Kapuas Prima Citra (timbal) dan PT Kobar Lamandau Mineral (seng).
Lima perusahaan itu bakal tetap dikenakan denda atas keterlambatan fasilitas pemurnian sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan dengan tetap mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19.
Penempatan denda paling lambat disetorkan ke negara selepas 60 hari sejak Kepmen No.89/2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri berlaku.
Selain itu, Kementerian ESDM juga mewajibkan adanya penempatan jaminan kesungguhan 5% dari total penjualan pada periode 16 Oktober 2919 sampai dengan 11 Januari 2022 dalam bentuk rekening bersama atau escrow account. Apabila pada 10 juni 2024 pembangunan smelter tidak mencapai 90% dari target, maka jaminan kesungguhan mesti disetorkan ke kas negara.
"Untuk mendapatkan rekomendasi ekspor harus memenuhi syarat yang tercantum dalam Rancangan Permen dan mekanisme pengawasannya dilakukan oleh Kementerian ESDM berdasarkan kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian," kata Arifin saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (24/5/2023).