Bisnis.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia (PTFI) tengah berkoordinasi dengan pemerintah ihwal hitung-hitungan denda administratif keterlambatan pembangunan smelter yang menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun lalu.
Juru Bicara PTFI Katri Krisnati menegaskan perseroan berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan smelter sesuai dengan Kurva S yang disepakati dengan pemerintah.
“Terkait denda keterlambatan, kami terus berkoordinasi dengan pemerintah,” kata Katri saat dikonfirmasi, Rabu (6/12/2023).
Lewat hasil audit teranyar untuk periode rekomendasi ekspor yang diterbitkan 15 Maret 2022, pemeriksaan kemajuan smelter September 2021 sampai dengan Februari 2022, BPK menghitung potensi denda administrasi keterlambatan pembangunan smelter Freepot mencapai US$501,94 juta setara dengan Rp7,77 triliun (asumsi kurs Rp15.480 per dolar AS).
BPK melakukan perhitungan potensi denda dengan menggunakan data realisasi penjualan ekspor PT FI yang diperoleh dari data CEISA (Customs Excise Integrated System and Automation), Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan periode 14 September 2021 sampai dengan 6 Februari 2022.
Berdasarkan data tersebut, volume penjualan PT FI mencapai 970.409,10 WMT saat itu, dengan nilai penjualan sebesar US$2.509.716.673,87. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh nilai potensi denda administrasi keterlambatan sebesar US$501.943.334,77.
Baca Juga
Selain itu, badan audit turut menghitung potensi denda administrasi atas rekomendasi ekspor 15 Maret 2020 dan rekomendasi ekspor 15 Maret 2021 mencapai US$296.129.715,95 setara dengan Rp4,58 triliun.
“Sejauh ini, pencapaian progres pembangunan smelter sesuai dengan target rencana yang disepakati tersebut,” kata Katri.
Dia menambahkan saat ini kemajuan pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur telah mencapai 83%.
“Sampai November, kemajuan pembangunan Smelter PTFI sudah mencapai lebih dari 83%,” kata dia.