Bisnis.com, JAKARTA – Penciptaan kepastian iklim berusaha pada fase transisi pemerintahan tahun depan menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah sebelum mengeluarkan skema-skema insentif dari sisi fiskal dan moneter.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang optimal pada 2024, kepastian iklim usaha atau investasi yang optimal perlu diciptakan oleh pemerintah Indonesia. Menurutnya, stimulus-stimulus moneter dan fiskal akan memiliki dampak yang sangat terbatas bila persepsi ketidakpastian iklim usaha Indonesia tetap tinggi.
“Kami rasa perluasan stimulus moneter dan fiskal sifatnya lebih sekunder dan tidak wajib karena kalau dipaksakan diperluas tanpa menindaklanjuti kondisi ketidakpastian yang ada, efeknya terhadap pertumbuhan juga akan minimal,” kata Shinta kepada Bisnis pada Rabu (29/11/2023).
Dia melanjutkan, Indonesia juga kerap memiliki celah (gap) yang besar antara kebijakan di atas kertas dan implementasinya di lapangan sehingga underlying trust yang susah payah diciptakan pada masa non-transisi akan semakin sulit dibangun pada fase transisi.
Apindo memproyeksikan sepanjang 2024 level persepsi pasar terhadap ketidakpastian iklim usaha atau investasi di Indonesia akan mencapai puncaknya. Hal ini akan membuat pengusaha atau investor cenderung mengambil sikap menunggu atau wait and see dibandingkan dengan tahun ini.
Di sisi lain, dia mengatakan, insentif fiskal dan moneter dapat diperluas jika pemerintah dapat menciptakan kepastian berusaha dengan lebih konsisten. Hal ini terutama berkaitan dengan meningkatkan konsistensi implementasi regulasi reformasi struktural yang sudah ada di lapangan.
Baca Juga
Shinta mengatakan, implementasi regulasi yang optimal serta peluasan program insentif dapat mendongkrak produktivitas ekonomi secara signifikan. Khusus pada sisi moneter, Shinta berharap adanya stimulus yang lebih besar terkait dengan pendalaman pasar.
“Insentif ini terutama perlu dilakukan dalam bentuk peningkatan akses finansial dan pinjaman usaha yang terjangkau serta bersaing dengan negara-negara Asean lain, khususnya untuk UMKM,” pungkasnya.
Selain itu, Shinta mengatakan pelaku pasar keuangan juga akan lebih spekulatif sehingga rentan menciptakan volatilitas tinggi di pasar keuangan. Hal ini akan berdampak negatif terhadap stabilitas makro, realisasi investasi dan kegiatan usaha atau penciptaan produktivitas di Indonesia.
“Ini akan sangat kontraproduktif terhdap kebutuhan penciptaan pertumbuhan ekonomi,” kata Shinta.