Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior Chatib Basri menyampaikan sejumlah tantangan yang akan dihadapi perekonomian Indonesia, baik dari sisi domestik maupun global di tengah volatilitas yang sangat tinggi.
Menurutnya, dalam jangka pendek atau dalam jangka waktu hingga 2 tahun ke depan, ada enam risiko yang perlu diwaspadai.
Pertama, dari dalam negeri yaitu transisi pemerintahan pada tahun depan. Menurutnya, risiko transisi pemerintahan yang baru tersebut masih tergolong rendah.
“Pada 2024 kita akan memasuki Pemilu di mana ada pemerintahan baru, risikonya dianggap relatif rendah,” katanya dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2024, Rabu (22/11/2023).
Kedua, risiko yang juga cenderung rendah yaitu perlambatan ekonomi China. Mantan Menteri Keuangan itu mengatakan, perlambatan ekonomi China, sebagai salah satu mitra dagang terbesar negara-negara Asean, termasuk Indonesia, akan sangat mempengaruhi kinerja atau permintaan ekspor di negara-negara tersebut.
Dia menjelaskan, perlambatan ekonomi China sebesar 1% akan memberikan dampak perlambatan 0,3% terhadap perekonomian Indonesia.
Baca Juga
“Jadi, kalau misalnya ekonomi China melambat dari 5,2% ke 4,5%, turunnya sekitar 0,7%, mungkin dampaknya ekonomi Indonesia akan melambat tidak sampai 0,3%. Kurang dari 0,3%, tapi ada dampak pada perlambatan ekonomi Indonesia,” katanya.
Ketiga, risiko yang juga tergolong rendah menurut Chatib yaitu kondisi higher for longer suku bunga kebijakan bank sentral Amerika Serikat dan Eropa.
Chatib mengatakan pasar masih melihat ada kemungkinan kenaikan suku bunga the Fed pada akhir tahun sebesar 25 basis poin. Di sisi lain, terdapat juga sinyal bahwa the Fed akan menghentikan sementara kenaikan suku bunga acuan.
Tingkat suku bunga the Fed yang sangat tinggi memberikan dampak pada likuiditas yang mengetat di banyak negara. Suku bunga the Fed pun baru diperkirakan turun pada semester kedua 2024.
Keempat, risiko kategori menengah yang dihadapi Indonesia yaitu financial spillover yang disebabkan oleh kondisi ketidakpastian di AS, serta risiko kelima meningkatnya harga energi dan komoditas terutama yang dipicu oleh tensi geopolitik, termasuk yang terjadi di Timur Tengah.
Sementara risiko keenam, menurut Chatib Basri yang perlu diwaspadai yang juga sekaligus bisa menjadi peluang dalam jangka menengah atau hingga 5 tahun ke depan yaitu masih berlanjutnya perang dagang AS dan China.
Dalam kondisi ini, ekspor dari China tidak akan bisa mudah masuk ke pasar AS, sehingga beberapa investor sudah mulai melakukan diversifikasi risiko dengan merelokasi investasi dari China ke luar China agar bisa masuk ke pasar AS.
“Dan ini sebetulnya sebuah kesempatan bagi negara-negara di Asia Tenggara. Investasi mulai berpindah ke Vietnam yang menerima manfaat cukup banyak, begitu juga Malaysia, dan Singapura. Dalam konteks ini, Indonesia juga punya kesempatan,” kata dia.