Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi Indonesia Tak Bisa Lepas dari Pengaruh AS dan China, Kenapa?

AS dan China merupakan negara tujuan ekspor dan negara asal impor utama Indonesia.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (kiri), Direktur Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso (kanan) dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (11/11/2023)/Bisnis-Annisa S. Rini
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (kiri), Direktur Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso (kanan) dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (11/11/2023)/Bisnis-Annisa S. Rini

Bisnis.com, RAJA AMPAT - Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi di Amerika Serikat dan China. Mengapa AS dan China sangat besar pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Erwindo Kolopaking mengatakan terkait dengan pengaruh AS, setiap pergerakan di Negara Paman Sam itu akan  berdampak ke dolar AS.

"Hal ini akan berdampak ke seluruh negara di dunia karena dolar AS banyak digunakan," ujarnya dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Sabtu (11/11/2023).

Sementara, untuk China diketahui sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, baik untuk ekspor maupun impor. "China menjadi negara utama tujuan ekspor dan impor Indonesia," tambahnya.

Berdasarkan data BPS, pada September 2023, China menjadi tujuan ekspor terbesar dengan pangsa sebesar 26,72%. Angka ini lebih tinggi ketimbang September 2022 yang sebesar 26,16%.

Untuk impor, China juga menduduki peringkat pertama sebagai tujuan utama impor Indonesia dengan kontribusi sebesar 35,35%, meningkat dibandingkan dengan September 2022 yang sebesar 34,74%.

Saat ini, lanjut Erwin, kondisi ekonomi global masih menjadi perhatian utama. Pasalnya, inflasi tinggi di AS menyebabkan suku bunga di negara tersebut naik, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian global meningkat.

Sementara, ekonomi China saat ini berada dalam tekanan perlambatan yang disebabkan salah satunya oleh kinerja ekspor dan perubahan struktur fundamental ekonomi negara ini.

Erwin menyebutkan ekonomi China bergantung pada ekspor ke negara maju dan berkembang. Namun, dengan adanya perang dagang antara China dan AS, hal ini pun berdampak pada perkembangan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Hal ini [perlambatan ekonomi China] yang menyebabkan impor China dari negara berkembang melambat. Jika ekonomi China naik lagi, permintaan [impor] juga akan naik," kata Erwin.

Selanjutnya, perubahan struktur fundamental ekonomi China juga berubah, yaitu bergeser dari infrastruktur menjadi industri teknologi tinggi atau high tech. Sebagai mana diketahui, industri ini memiliki efek berganda yang cenderung terbatas.

"China, ke depan akan bersaing dengan negara maju di high tech, [sayangnya] multiplier effect sangat kecil terutama ke negara-negara kawasan Asia lain, seperti Indonesia," jelasnya.

Adapun, untuk kondisi ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global, Erwin menyebutkan masih kuat yang terlihat dari sejumlah indikator. Misalnya saja, cadangan devisa yang relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara peers.

Per Oktober 2023, cadangan devisa Indonesia berada pada level US$133,1 miliar atau setara dengan 6,1 bulan impor atau 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi ini juga beada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Inflasi Indonesia pada Oktober 2023 tercatat sebesar 2,56% yoy, atau berada dalam kisaran sasaran 3,0 plus minus 1%. Ke depan, target inflasi akan turun menjadi 2,5 plus minus 1%.

Likuiditas perbankan dan perekonomian juga masih longgar dengan pertumbuhan uang beredar M1 dan M2 yang tumbuh masing-masing sebesar 4,1% yoy dan 6,0% yoy pada September 2023.

Adapun, perbankan dalam negeri juga masih solid dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 27,62% dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) sebesar 2,50% gross dan 0,79% net.

BI pun telah merilis sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, antara lain stabilisasi nilai tukar rupiah, penguatan strategi operasi moneter untuk efektivitas kebijakan moneter termasuk optimalisasi SRBI, penerbitan SVBI dan SUVBI, kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM), dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper