Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha mendukung keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 6%. Meskipun demikian, keputusan tersebut dianggap tidak ideal bagi mereka karena menambah proyeksi kenaikan beban overhead usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, para pengusaha memahami bahwa tidak mungkin bagi BI untuk terus menahan suku bunga di 5,75% untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah terhadap dolar.
Pelemahan rupiah dalam tiga bulan terakhir, kata Shinta telah memukul pelaku usaha, khususnya dalam bentuk penggelembungan overhead cost usaha. Anjloknya rupiah menyebabkan penurunan produktivitas usaha dan daya saing ekspor.
Bahkan, dia memberkan, beberapa pelaku usaha di sejumlah sektor juga terpaksa menaikkan harga jual di pasar akibat kenaikan overhead cost karena pelemahan nilai tukar terhadap beban impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
“Oleh karena itu, sangat penting bagi kami agar pelemahan nilai tukar bisa segera dihentikan atau rupiah bisa kembali menguat dalam waktu dekat secara berkelanjutan, meskipun harus dilakukan dengan cara menaikkan suku bunga acuan,” ujar Shinta saat dihubungi, Kamis (19/10/2023).
Kendati demikian, Shinta mengaku kenaikan overhead usaha atas peningkatan suku bunga acuan belum bisa ditentukan. Musababnya, pengusaha perlu melihat bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan BI akan meningkatkan bunga pelaku usaha di sektor perbankan.
Baca Juga
Para pengusaha memperkirakan kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 6% akan memperlambat laju pertumbuhan kredit usaha.Pasalnya, risiko dan beban pinjaman akan makin tinggi.
Sektor perbankan akan menghasilkan lebih banyak penyiaran dalam penyaluran kredit pada tingkat suku bunga acuan saat ini.Apalagi tidak semua sektor usaha memiliki kinerja dan keuntungan yang cukup besar untuk dapat meng-cover beban bunga pinjaman yang diperkirakan ikut naik.
Oleh karena itu, Shinta berharap sektor perbankan bisa mempertahankan suku bunga pinjaman pada tingkat yang sama atau setidaknya menciptakan kenaikan yang tipis seperti yang dilakukan BI, yakni kenaikan suku bunga maksimal 25 bps.
“Dengan begitu kenaikan beban overhead di sisi pelaku usaha menjadi minimal,” ucap Shinta.
Lebih lanjut, para pengusaha melihat bahwa risiko pelemahan rupiah masih sangat tinggi hingga akhir tahun. Sejumlah faktor yang menjadi risiko adalah saat The Fed menaikkan suku bunga acuannya untuk mengendalikan inflasi di Amerika Serikat atau jika terjadi konflik yang meluas di Timur Tengah atau makin mempengaruhi harga dan pasokan migas di pasar global.
Dengan demikian, kenaikan suku bunga acuan, kata Shinta perlu disertai efektivitas perpaduan kebijakan.Instrumen kenaikan suku bunga diharapkan hanya sebagai instrumen “last resort” untuk menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar.
“Oleh karena itu, instrumen kebijakan dan intervensi moneter lain yang dimiliki BI dan pemerintah perlu ditingkatkan untuk mengendalikan nilai tukar,” kata Shinta.