Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro melihat risiko berlanjutnya aliran modal keluar atau capital outflow saat fed fund rate (FFR) dikerek ke level yang sama dengan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) di level 5,75 persen.
Meski demikian, kondisi tersebut bukan hanya diakibatkan oleh senadanya FFR dan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) atau BI rate, tetapi juga sentimen pasar menunggu kejelasan arah suku bunga milik The Fed tersebut.
“Potensi capital outflows mungkin bisa berlanjut. Lebih karena market masih belum priced in ke arah mana suku bunga FFR ini ke depan. Jadi, bukan semata karena BI rate sama dengan FFR,” katanya kepada Bisnis, Minggu (8/10/2023).
Pasalnya, pada pekan pertama Oktober 2023 saat rupiah menghadapi perlemahan, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran modal keluar senilai Rp2,92 triliun dari pasar keuangan domestik.
Jumlah tersebut terdiri dari jual neto Rp2,92 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan beli neto Rp20 miliar di pasar saham. Sementara itu, BI juga mencatat nonresiden beli neto Rp400 miliar di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Senada, Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri juga melihat apabila suku bunga acuan FFR dan BI-7DRR berada pada tingkat yang sama, akan mendorong keluarnya aliran modal dari pasar domestik.
Baca Juga
“The Fed mengindikasikan menaikan Fed Fund Rate [FFR] 1 kali lagi tahun ini. Artinya FFR mungkin akan par dengan BI rate. Dengan kondisi ini ada risiko outflow dari Indonesia. Ini menjelaskan mengapa rupiah melemah beberapa waktu terakhir,” ujarnya.
Adapun, sejak 2022 yang lalu hingga saat ini, bank sentral AS terpantau sudah menaikkan FFR sebesar 525 bps, sementara Bank Indonesia menaikkan BI7RR sebesar 225bps.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, kondisi ini cenderung berbeda dengan kondisi taper tantrum pada 2013, di mana BI pada saat itu menaikkan suku bunga acuannya bahkan sebelum Fed menaikkan suku bunga FFR.
Secara umum, saat ini kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang terindikasi dari inflasi, cadangan devisa, neraca transaksi berjalan dan peringkat utang pemerintah Indonesia yang saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi 2013.
Dirinya melihat, meski suku bunga acuan nantinya sama, arah suku bunga The Fed diproyeksikan akan lebih jelas dan akan membatasi risk off sentiment di pasar keuangan global.
“Sekalipun pasar memperkirakan Fed akan menaikkan FFR sebesar 25bps pada awal November mendatang, namun Fed diperkirakan akan memberikan sinyal yang lebih jelas terkait dengan arah suku bunga Fed mendatang,” jelasnya, Minggu (8/10/2023).
Josua menuturkan, bahwa berdasarkan Summary Economic Projection yang dirilis pada FOMC September yang lalu, anggota FOMC memperkirakan bahwa pada tahun depan The Fed berpotensi memangkas suku bunga FFR sebesar 50bps pada semester II/2024 mempertimbangkan kondisi ekonomi AS yang cenderung melambat pada awal 2024 mendatang.
Untuk itu, menjadi tugas penting bagi BI untuk dapat mengoptimalkan beberapa instrument, mulai dari devisa hasil ekspor (DHE) dan Sekuritas Rupiah BI (SRBI) sebagai instrumen operasi terbuka untuk menarik investor asing sehingga mendorong terjaganya suplai valas di domestik yang berikutnya akan menopang terjaganya stabilitas rupiah.