Bisnis.com, JAKARTA – Defisit Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) Indonesia mengalami penyusutan secara cepat pasca pandemi Covid-19. Ada sejumlah faktor pendorong penyusutan defisit anggaran tersebut.
Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman mengatakan jika dibandingkan dengan berbagai negara emerging market lainnya, defisit APBN Indonesia turun paling cepat dan kembali pada posisi pra Covid-19.
"Kalau dilihat detailnya memang kenapa turun, ini karena belanja subsidi tidak sebesar tahun lalu, stimulus Covid-19 juga tidak ada lagi," katanya dalam kunjungan Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) ke Wisma Bisnis Indonesia pada Rabu (27/9/2023).
Selain itu, perekonomian Indonesia kian membaik, penerimaan negara pun meningkat. Secara garis besar, yang cukup menolong turunnya defisit anggaran adalah berlanjutnya reformasi struktural. "Ini [reformasi struktural] membantu mengurangi apa yang biasa yang disebut luka permanen dari Covid-19," tuturnya.
Sementara, negara-negara di emerging market lainnya mengalami luka permanen Covid-19 yang lebih lama karena lemahnya reformasi struktural.
Adapun, defisit APBN sempat melebar pada masa pandemi Covid-19. Pada 2020 angka defisit APBN mencapai 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Lalu, pada 2021, defisit APBN mencapai 4,65 persen dari PDB.
Baca Juga
Defisit APBN menyebabkan lonjakan rasio utang hingga ke level 40,7 persen dari PDB pada 2021, tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
Kemudian, pada 2022, defisit APBN berhasil turun ke tingkat 2,38 persen dari PDB, lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Pada 2023, kebijakan defisit anggaran tetap dijaga di bawah 3 persen dari PDB.
Sementara, posisi utang pemerintah pada Juni 2023 mencapai Rp7.805,19 triliun dengan rasio utang 37,93 persen terhadap PDB. Posisi utang tersebut meningkat jika dibandingkan dengan posisi pada Mei 2023 yang mencapai Rp7.787,51 triliun.