Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR RI menyepakati perubahan asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN tahun anggaran 2024. Salah satu indikator yang disepakati, yaitu kenaikan harga minyak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan APBN 2024 tetap harus menjadi instrumen kebijakan yang dapat diandalkan menghadapi gejolak ekonomi dan geopolitik serta mendukung agenda pembangunan termasuk pelaksanaan Pemilu 2024.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sri Mulyani saat menyampaikan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024, pada Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/9) di Jakarta.
“Terhadap laporan panja [panitia kerja] dan naskah RUU APBN tahun 2024, dapatkah kita setujui sebagai hasil kesepakatan bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR sebagai kesepakatan tingkat I pembahasan APBN tahun 2024, setuju?” kata Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah dalam rapat kerja dengan pemerintah, Selasa (19/9/2023).
Asumsi dasar ekonomi makro 2024 ditetapkan dengan adanya pertimbangan perekonomian global yang diperkirakan masih menghadapi tantangan.
Hal ini tercermin dari prediksi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund (IMF) bahwa pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 3,0 persen pada 2024.
Baca Juga
Dampak dari pandemi yang belum sepenuhnya teratasi, tensi geopolitik yang masih eskalatif, laju inflasi yang masih tinggi, likuiditas pasar keuangan global yang masih ketat, serta pelemahan ekonomi China dinilai menjadi tantangan besar bagi pemulihan ekonomi global.
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 disepakati sebesar 5,2 persen, tidak berubah dari target pada RAPBN 2024. Asumsi makro yang juga disepakati tetap dari asumsi pada RAPBN 2024 sebelumnya, diantaranya laju inflasi sebesar 2,8 persen, nilai tukar rupiah Rp15.000 per dolar AS, dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,7 persen.
Sementara itu, asumsi harga minyak mentah Indonesia/ICP dinaikkan menjadi sebesar US$82 per barel dari sebelumnya US$80 per barel, serta target lifting minyak bumi yang dinaikkan dari 625.000 barel per hari menjadi 635.000 barel per hari.
Adapun, target lifting gas bumi disepakati tetap sebesar 1,03 juta barel setara minyak per hari.
DPR dan pemerintah memandang bahwa dinamika harga yang terjadi sepanjang 2023 masih akan berlanjut hingga 2024. Tensi geopolitik dinilai masih menjadi faktor penting yang mempengaruhi pergerakan harga minyak mentah dunia ke depan.
Selain itu, pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, kondisi perekonomian global, serta respons kebijakan OPEC+ juga akan mempengaruhi kondisi permintaan dan penawaran minyak mentah global.
Di sisi lain, mulai pesatnya pengembangan dan penggunaan energi alternatif juga diperkirakan dapat menekan pertumbuhan permintaan minyak dalam jangka menengah seiring penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Menurut DPR dan Pemerintah, asumsi harga minyak mentah telah ditetapkan pada level yang realistis sesuai perkembangan faktor-faktor fundamental yang mempengaruhinya. Hal ini pun dinilai sangat penting guna menjaga kesehatan postur anggaran dan daya beli masyarakat.
Sementara itu, perkiraan lifting minyak dan gas bumi untuk 2024 didasarkan pada pertimbangan peningkatan kapasitas dan potensi produksi pada lapangan minyak dan gas yang ada.
Peningkatan produksi disebutkan, dilakukan dengan mengoptimalkan peningkatan aset serta optimasi produksi minyak dari sumur-sumur yang ada.
Peningkatan lifting minyak dan gas bumi pun akan didukung dengan kebijakan dan strategi, seperti reformasi birokrasi, kemudahan berusaha, insentif fiskal, dan eksplorasi yang masif pada wilayah cekungan baru, dalam jangka menengah panjang.
Daftar asumsi dasar ekonomi makro APBN 2024 | |
---|---|
Indikator | Target |
Pertumbuhan ekonomi | 5,2 persen |
Laju inflasi | 2,8 persen |
Nilai tukar rupiah | Rp15.000 per dolar AS |
Tingkat suku bunga SBN 10 tahun | 6,7% |
Harga minyak mentah Indonesia/ICP | US$82 per barel |
Lifting minyak bumi | 635.000 barel per hari |
Lifting gas bumi | 1,03 juta barel setara minyak per hari |
Sumber: APBN 2024
Harga Minyak Memanas
Goldman Sachs Group Inc. kembali menaikkan proyeksinya dengan harga minyak US$100 per barel, terutama untuk harga minyak mentah. Lantas apa yang menjadi faktor pendorong dan pergerakan harga minyak, utamanya pada tahun ini?
Mengutip Bloomberg, Rabu (27/9/2023) Proyeksi kenaikan harga tersebut dipertimbangkan oleh Goldman lantaran harga minyak mentah kembali mencapai tiga digit lantaran permintaan global yang mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Diketahui bahwa minyak telah mengalami reli yang kuat dalam beberapa bulan terakhir, bahkan mencapai level tertinggi dalam 10 bulan. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pembatasan pasokan yang signifikan dari dua pilar OPEC+, yakni Arab Saudi dan Rusia.
Mengutip Reuters, Rabu (27/9) Arab Saudi telah mempelopori upaya untuk mendukung harga minyak, dengan melakukan pengurangan produksi secara sukarela dalam jumlah besar, sebagai bagian dari kesepakatan produksi yang disetujui oleh kelompok produsen OPEC+.
Sebagai catatan, OPEC+ terdiri dari organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia. Arab Saudi diperkirakan akan memperpanjang pemotongan sebesar 1 juta barel per hari (bph) selama empat bulan berturut-turut hingga Oktober 2023.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak juga mengatakan bahwa negaranya sepakat dengan mitra OPEC+ mengenai parameter pengurangan ekspor lanjutan pada Oktober 2023.
Kemudian, seorang pejabat senior di perusahaan perdagangan komoditas global Trafigura juga mengatakan bahwa pasar minyak rentan terhadap lonjakan harga karena rendahnya persediaan dan rendahnya investasi di ladang minyak baru.
Sebelumnya, terdapat pandangan lain dari Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional Fatih Birol pada Rabu (7/6/2023) kepada Bloomberg TV bahwa pengurangan produksi OPEC+ mungkin memberikan tekanan pada harga minyak mentah, namun perekonomian China adalah faktor terpenting bagi pasar minyak.
“Ada banyak ketidakpastian, seperti biasa, ketika menyangkut pasar minyak, dan jika saya harus memilih yang paling penting adalah China,” ungkap Birol.
Dalam wawancara tersebut, Birol mengungkapkan bahwa dari pertumbuhan permintaan minyak global lebih dari 2 juta barel per hari yang diperkirakan tahun ini, 60 persen berasal dari China.
Stress Test
Selain inflasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) memiliki ketahanan yang memadai terhadap gejolak harga minyak mentah global.
“Pemerintah terus melakukan exercise. Seperti di awal tahun lalu, bulan Januari kami sudah lakukan stress testing untuk melihat apakah APBN akan terdampak signifikan dari pergerakan harga minyak,” kata Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Abdurrohman.
Dia mengamini harga minyak terus mengalami gejolak, seperti pada tahun 2022 lalu harga minyak sempat menyentuh US$120 per barel.
Namun, Pemerintah Indonesia yakin harga minyak tidak akan bertahan di titik tinggi untuk waktu yang lama, karena permintaan akan terus menurun seiring dengan kenaikan harga.
Menimbang hal tersebut, Abdurrohman memperkirakan harga minyak tahun depan tidak akan mencapai US$100 dolar per barel. Meski begitu, pemerintah tetap mempersiapkan berbagai skenario antisipasi kebijakan untuk menjaga ketahanan APBN dari risiko gejolak harga komoditas.
“Mungkin beberapa minggu ke depan atau awal tahun nanti akan kita lihat. Kalau pergerakannya signifikan, kita akan lihat beberapa skenario yang memungkinkan,” ujar Abdurrohman.
Pada sisi lain, kata dia lagi, kenaikan harga minyak juga bisa berimplikasi positif terhadap penerimaan negara. Kenaikan harga minyak biasanya diikuti oleh komoditas lain di mana Indonesia menjadi eksportir.
Oleh sebab itu, meski dari sisi belanja mengalami kenaikan, namun sisi penerimaan juga relatif tinggi.
“Karena memang harga komoditas lain juga harganya mengikuti. Jadi, dari sisi revenue kita masih mendapat net gain dari kenaikan itu,” kata dia lagi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi tren ICP akan mengalami penurunan. Jika mengacu dari asumsi, dia menilai akan ada tantangan atau challenge.
"Dari tahun 2000, lifting minyak pernah mencapai 1,4 juta sekarang di 612,3 ribu barrel per hari. Tentunya akan ada prasyarat yang harus dipenuhi dari sisi hulu migas agar target 635 ribu barrel per hari dapat tercapai," ujar Josua.
Sementara itu, dari sisi ICP sendiri pemerintah berdasarkan pembahasan terakhir dengan Banggar, harga minyak dinaikkan dari US$80 menjadi US$82 per barrel.
Jika melihat kondisi harga minyak mentah global harganya lagi naik, dia memprediksi kondisinya akan berubah mulai awal tahun depan. Josua mengatakan pemerintah ingin memberikan optimisme kepada para pelaku ekonomi.
"Dari asumsi tadi secara umum pandangan kami feasible, tetapi ada pekerjaan rumah yang harus disempurnakan pemerintah agar asumsi makro tercapai atau devisasinya cukup kecil sehingga harapannya dari postur APBN dapat tercapai," ucapnya.