Bisnis.com, JAKARTA – Ghana berada di ambang kebangkrutan karena kesulitan keuangan karena pemerintah mengalami kesulitan pembayaran utang serius kepada kontraktor global.
Mengutip dari laporan Africa.com, Selasa (26/9/2023), pemerintahan Presiden Ghana Nana Akufo-Addo tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui pinjaman sebesar US$3 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Diketahui bahwa krisis keuangan tersebut memiliki dampak yang luas, dengan banyaknya kontraktor yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja, yang kemudian memperparah masalah pengangguran dari Ghana.
Kepala eksekutif sebuah asosiasi perusahaan konstruksi Ghana, Emmanuel Cherry, baru-baru ini mengungkapkan bahwa pembayaran kembali pemerintah kepada kontraktor berjumlah sekitar US$1,3 miliar dan belum termasuk bunga.
Kemudian, laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa pemerintah Ghana berutang produsen listrik independen sebesar US$1,58 dan berada dalam bahaya mengalami pemadaman listrik massal.
“Pemerintah pada dasarnya bangkrut. Ini adalah kali ke-17 Ghana terpaksa menggunakan dana tersebut sejak memperoleh kemerdekaan pada tahun 1957,” jelas laporan tersebut.
Baca Juga
IMF sendiri kemudian menyajikan rencana penyelamatan yang komprehensif untuk mengatasi utang Ghana, membatasi pengeluaran, meningkatkan pendapatan dan melindungi populasi yang rentan sambil bernegosiasi dengan kreditor asing.
Sebelumnya, mengutip pemberitaan Reuters, Selasa (26/9) ratusan demonstran berkumpul di Accra pada minggu lalu selama tiga hari untuk unjuk rasa anti-pemerintah yang terkait dengan kesulitan ekonomi.
Ghana sebagai negara penghasil emas, minyak dan kakao dalam satu generasi, mengalami krisis ekonomi terburuk dalam satu generasi disebabkan oleh meningkatnya utang publik.
Kemudian, pada tahun lalu protes terhadap lonjakan harga dan tantangan ekonomi lainnya menyebabkan bentrokan dengan polisi dan mendorong pihak berwenang untuk meminta bantuan IMF.
Sejak saat itu, kemudian pemerintah berfokus pada restrukturisasi utang dan mengurangi pengeluarannya, untuk mendapatkan akses terhadap program pinjaman IMF senilai US$3 miliar yang berjangka waktu tiga tahun.
Namun para kritikus kemudian mengatakan bahwa pihak berwenang tidak berbuat banyak untuk membantu mereka yang kesulitan, memenuhi kebutuhan hidup ketika pertumbuhan ekonomi melambat.