Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi CPO Stagnan, PSR Kemitraan Diklaim Ampuh Dongkrak Kinerja Sawit

Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dinilai memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivtias tanaman kelapa sawit petani
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Produktivitas sawit nasional masih tertahan dengan produktivitas 3-4 ton per hektare setara crude palm oil (CPO). Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. 

Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah mengatakan, pihaknya tengah memulai program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), terutama jalur kemitraan yang dapat mendongkrak laju produksi sawit nasional.

"Jika tidak ada terobosan dalam meningkatkan produktivitas kelapa sawit maka masa depan industri kelapa sawit Indonesia akan terancam," kata Andi dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (19/9/2023). 

Andi menjelaskan, langkah PSR kemitraan juga selaras dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) RI No. 3/2022 yang mengakomodir program tersebut.

Realisasi PSR kemitraan ditandai dengan kick off tanam perdana percepatan PSR jalur kemitraan binaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau pada Senin (18/9/23).

"Saya berharap, perusahaan-perusahaan kelapa sawit ini bisa memberikan transfer teknologi, pengetahuan budidaya, akses pasar dan pemetaan kepada para petani binaannya," ujarnya. 

Saat ini, petani kelapa sawit Indonesia yang menguasai 42 persen komposisi pelaku industri kelapa sawit nasional, memiliki ketimpangan produktivitas yang sangat tajam dibandingkan dengan perusahaan kelapa sawit. 

Untuk itu, PSR memiliki peran penting mengingat kontribusinya dalam meningkatkan produktivtias tanaman kelapa sawit petani, meskipun belum optimal. 

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menjelaskan bahwa peran perusahaan sebagai 'bapak asuh' dapat menyukseskan target PSR, yakni 500.000 hektare per 3 tahun atau sekitar 1.800 hektare per tahun.

"Sejak 2016 hingga Agustus tahun ini, BPDPKS telah menyalurkan dana PSR sebesar Rp8,8 triliun dan tahun ini telah melakukan PSR lebih dari 1.700 hektare yang terdiri atas tujuh proposal PSR kemitraan," ujarnya. 

Dalam hal ini, Eddy melaporkan bahwa saat ini ada 17 proposal PSR kemitraan yang sedang dikaji dan dengan capaian implementasi PSR hingga kuartal III/2023, maka BPDPKS yakin dapat memenuhi target 500.000 hektare.

Senada, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan, urgensi tata kelola berkelanjutan dalam program PSR oleh petani. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, produksi sawit nasional mengalami stagnasi, sementara permintaan dan konsumsi terus meningkat dari 18 juta ton menjadi 21 juta ton pada tahun 2022.

"Program ini selain untuk meremajakan tanaman petani yang sudah tua, juga membantu para petani untuk dapat melakukan tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sehingga sebagai hasil akhirnya adalah peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit ya," jelasnya.

Gapki mencatat besaran kebun petani sawit yang mencapai 42 persen, kini telah memasuki masa peremajaan dengan rata-rata usia tanaman diatas 25 tahun. Terdapat 513.000 hektare kebun sawit plasma yang tersebar di 15 provinsi.

"Petani mitra Gapki seharusnya sudah clean and clear memenuhi persayaratan PSR, Namun ternyata masih harus bergelut dengan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan legalitas lahan," tuturnya. 

Adapun, dia mengungkapkan, polemik hak guna usaha (HGU) dan lahan yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan. Padahal, menurut Eddy, lahan tersebut telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) dan pernah menjadi agunan di bank.

Kendala lainnya, yakni dari para petani yang masih enggan melakukan replanting dengan alasan harga tandan buah segar (TBS) yang tinggi.

Eddy berpendapat, petani kelapa sawit Indonesia memerlukan pendampingan yang sangat serius dari pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan swasta agar percepatan program PSR bisa terimplementasi dengan cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper