Bisnis.com, JAKARTA - Dana Just Energy Transition Partnership (JETP) dari pakta iklim yang dipimpin Amerika Serikat-Jepang dinilai masih kurang untuk membiayai transisi energi di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara CEO Bloomberg Day di Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengamini pernyataan Luhut tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa untuk melakukan transisi energi memang memerlukan dana lebih dari nilai yang dijanjikan dalam JETP senilai US$20 miliar atau Rp310 triliun.
“JETP kan jadi sebagai katalisator atau percepatan. Bahwa kita memerlukan lebih banyak dari itu, ya pasti,” ujar Dadan di Kementerian ESDM, Jumat (8/9/2023).
Meskipun tidak cukup, Dadan menyebut bahwa pemerintah akan memaksimalkan dana dari JETP untuk transisi energi.
Selain itu, pihak ESDM juga masih berupaya untuk mempercepat cairnya dana JETP yang dijanjikan oleh negara-negara G7 tersebut.
Baca Juga
“Kita lagi berupaya agar itu kejadian [cepat cair] dan dokumennya dapat segera selesai,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa dana Just Energy Transition Partnership (JETP) dari Amerika Serikat masih kurang karena kebutuhan proyek transisi energi bisa mencapai US$100 miliar.
Luhut mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang mencari donor lain, yakni filantropis untuk mendukung dana JETP.
“Besarnya [dana] JETP ini kalau kita lihat kembali ke hasil G20 sekitar US$20 miliar. Tapi pada kenyataannya, saya pikir bisa sampai US$100 miliar,” Jelas Luhut dalam acara CEO Bloomberg Day di Hotel Fairmont Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Luhut mengutarakan bahwa dana JETP US$20 miliar dolar atau sekitar Rp310 triliun hingga saat ini masih belum ada perkembangan.
Dia mengatakan jika Indonesia ingin membereskan program transisi energi secara penuh, maka pemerintah perlu tambahan hingga US$80 miliar.
"Saya akui ini memang bukan hal yang mudah. Namun, pemerintah sangat berkomitmen untuk melakukan ini semua," ujarnya.