Bisnis.com, JAKARTA – Pendiri Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum /WEF) Klaus Martin Schwab mengungkapkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara atau Asean masih kalah dari China.
Menurutnya, ekonomi negara-negara di Asean mengalami keterlambatan dalam melakukan reformasi ekonomi. Hal tersebut, lanjutnya, menyebabkan ekonomi di 10 negara Asean secara kumulatif masih lebih rendah dari China, bahkan realtif tak berubah dalam 30 tahun terakhir. Di mana ekonomi Asean hanya mampu tumbuh 2,7 kali lipat, sementara China hingga 10 kali lipat.
“Jangan lupa, mungkin negara-negara di Asean terlambat memulainya. China telah melakukan reformasi pada 1979, dan itu adalah kebijakan yang sangat terintegrasi,” jelasnya dalam Accelerating Public-Private Cooperation to Achieve a Sustainable and Resilient Asean, di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (4/9/2023).
Pendiri World Economic Forum tersebut melihat visi yang sama tentang masa depan Asean sedang berkembang, seperti China kala itu.
Menurutnya, Asean juga memiliki kemajuan ekonomi yang luar biasa hingga saat ini.
"Pertumbuhan ekonomi Asean relatif tinggi dibandingkan dengan rata-rata global, di mana pada 2022 mencapai 5,7 persen," jelasnya.
Baca Juga
Dirinya juga mengatakan bahwa Asean perlu menjadi pintar, yang berarti maju di bidang digital, ekonomi hijau, serta saling terhubung.
Sebagaimana diketahui, konektivitas antarnegara Asean terus didorong salah satunya melalui kerja sama penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral local currency transaction atau LCT.
“[Pertumbuhan ekonomi yang tinggi] itu berarti menggandakan PDB kawasan Asean setiap 12 hingga 13 tahun. Jadi ini akan menjadi kemajuan yang luar biasa, tetapi juga ada sesuatu yang berubah,” lanjutnya.
Dalam diskusi bersama mantan Menteri Perdagangan (2011-2014) Gita Wirjawan tersebut, Schwab menjelaskan dalam bidang digital, artificial intelligence atau kecerdasan buatan akan menjadi kunci dalam industri 4.0, utamanya jasa.
Sementara negara yang bergerak sangat cepat dalam teknologi hijau akan memperoleh keunggulan. Dia percaya bahwa kekuatan negara kelas menengah mampu memimpin ekonomi, bukan hanya China dan AS.
“Saya pikir dunia ini adalah dunia yang sangat kompleks dan multipolar, yang mungkin didominasi oleh dua atau tiga raksasa, tetapi kekuatan-kekuatan seperti Indonesia, Arab Saudi, dan Brasil, akan memainkan peran yang sangat penting dalam memberikan insight baru dalam konteks geopolitik dan ekonomi,” tutupnya.