Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan optimistis penerimaan pajak sebesar Rp1.986,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 akan tercapai, meski di tengah berbagai guncangan ekonomi.
Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan target yang hampir menyentuk Rp2.000 triliun tersebut telah ditentukan berdasarkan berbagai asumsi makro dan berbagai faktor termasuk pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi hingga harga komoditas.
"Kami merasa bahwa target penerimaan negara khususnya perpajakan dan spesialnya pajak, targetnya kegedean enggak ya Rp1.987 triliun? Menurut kami dalam kondisi saat ini masih sangat rasional," ujarnya dalam Diskusi ‘Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita Dalam RAPBN 2024?’ di Penang Bistro Pakubuwono, Jakarta Selatan, Selasa (29/8/2023).
Yon menjelaskan bila membandingkan dengan outlook APBN 2023 sebesar Rp1.818 triliun, target 2024 lebih tinggi 9,2 persen.
Kenaikan tersebut masih cukup rasional dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen ditambah inflasi yang menuju target 2 persen hingga 4 persen.
"Kalau pertumbuhan di atas 5 persen ditambah inflasi sehingga pertemuan alami di kisaran 8,5 persen. Kalau kita taruh 9,1 persen—9,3 persen, yang 8,5 persen cerminan pertumbuhan ekonomi, sisanya jarak 0,7 persen atau 1 persen itu mungkin kegiatan dari shadow economy, basis penerimaan baru, atau kegiatan baru," tambahnya.
Baca Juga
Secara umum, dalam RAPBN 2024, pemerintah mematok target penerimaan perpajakan sebesar Rp2.307,9 triliun. Secara rinci, penerimaan pajak sebesar Rp1.986,9 triliun serta kepabeanan dan cukai senilai Rp321 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama meminta pemerintah untuk menyasar wajib pajak (WP) baru, termasuk yang berstatus sebagai shadow economy.
"Karena dari sini akan benar benar pemerintah mendapatkan ekstensifikasi yang seharusnya, dari sini kita bisa memperoleh tax ratio yang naik, karena pembayar pajak juga naik bukan itu itu aja,” jelasnya.
Pengusaha mengaku ‘gerah’ dengan para perilaku pelaku usaha lain yang shadow economy atau tidak terpantau dalam radar pajak. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi shadow economy, karena hampir 26 persen masyarakat atau seperempat kue perekonomian RI di shadow economy.
Artinya, terdapat potensi penerimaan pajak dari 26 persen para masyarakat yang belum terdeteksi dan seharusnya mampu dihimpun dan membantu menopang APBN.
Sekadar informasi, shadow economy berkaitan erat dengan seluruh aktivitas ekonomi baik yang dilakukan individu, rumah tangga, maupun perusahaan dengan tujuan untuk menghindari atau mengelak dari kewajiban administrasi di institusi pemerintah, termasuk perpajakan.
Biasanya, aspek ketenagakerjaan yang terindikasi ke dalam shadow economy berkaitan dengan administrasi hingga kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Persoalan lain adalah banyaknya sektor yang masih menggunakan tenaga kerja dengan penghasilan di bawah PTKP sehingga dapat terlepas dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh).