Bisnis.com, JAKARTA — Rasio penerimaan negara Indonesia terhadap produk domestik bruto atau PDB tercatat masih kecil, sejajar dengan sejumlah negara yang tingkat pembangunannya rendah. Di Asean pun, Indonesia mencatatkan skor pajak dan penerimaan lainnya yang rendah.
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menjelaskan bahwa data International Monetary Fund (IMF) mengenai persentase penerimaan negara terhadap PDB dapat menjadi perbandingan seberapa optimal kinerja pendapatan negara.
Berdasarkan data Public Finances in Modern History yang dipublikasikan IMF, Indonesia mencatatkan penerimaan negara 13,59 persen terhadap PDB. Ternyata, angka itu tidak memuaskan karena terbilang rendah, baik di Asean maupun secara global.
"Kita bisa lihat bahwa pada 2021 rasio penerimaan kita 13,59 persen, dengan rasio ini sebetulnya kita sebetulnya sejajar dengan negara-negara yang level pembangunannya sebetulnya relatif lebih rendah," ujar Teguh dalam diskusi bertajuk Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita Dalam RAPBN 2024? yang digelar Bisnis Indonesia pada Selasa (29/8/2023).
IMF tidak mencatat data semua negara di Asean, tetapi berdasarkan data negara-negara yang tertera, Indonesia ada di peringkat bontot.
Rasio pendapatan negara terhadap PDB tertinggi di Asean dimiliki oleh Kamboja yaitu 22,2 persen, lalu Filipina 20,36 persen, Thailand 20,22 persen, dan Malaysia 18,3 persen. Indonesia ada di belakang keempat negara itu.
Baca Juga
Skor Indonesia bahkan lebih rendah dari Papua Nugini, yang mencatatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB 14,65 persen.
Dilihat secara global, Indonesia berada di urutan ke-14 terbawah soal rasio penerimaan negara terhadap PDB. Negara-negara dengan skor rasio 13 persenan adalah Indonesia, Guinea (13,66 persen), dan Republik Afrika Selatan (13,67 persen).
"Misalnya, kita bisa lihat bagaimana negara-negara Afrika, beberapa di Timur Tengah [memiliki tingkat rasio yang rendah, sejajar dengan Indonesia]," ujar Teguh.
Menurutnya, pembahasan soal perpajakan maupun penerimaan negara secara luas bukan hanya mencakup satu atau dua tahun dan bukan sekadar cara mencapai target. Namun, diskusi soal perpajakan harus ditarik ke rentang waktu yang lebih panjang, melalui reformasi perpajakan.
"Bicara perpajakan tidak hanya satu sampai dua tahun, tidak bicara sekadar target, tetapi bicara pada periode menengah dan jangka panjang. Ada persoalan struktural dalam konteks penerimaan negara [yang harus dikaji]," ujar Teguh.