Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis Indonesia Group menggelar diskusi dengan tema “Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita dalam RAPBN 2024?” sebagai upaya dalam menelaah kebijakan sekaligus perkembangan reformasi perpajakan.
Diskusi tersebut akan berlangsung pada Selasa (29/8/2023) mulai pukul 14.00 WIB di Jakarta Selatan.
Acara diskusi akan menghadirkan Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal, Founder & Managing Partner DDTC Fiscal Research & Advisory Darussalam, Ketua Komite Perpajakan Dewan Pimpinan Nasional Apindo Siddhi Widyaprathama, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro.
Adapun, diskusi terkait dengan upaya pencapaian target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2024 yang mencapai kisaran Rp2.275,3 triliun-Rp2.335,1 triliun atau naik sebesar 12,57 persen -15,53 persen dibandingkan dengan target pada tahun ini.
Direktur Gagas Kreasitama Chamdan Purwoko, selaku pelaksana kegiatan diskusi tersebut, menjelaskan bahwa perpajakan menjadi perhatian karena menjadi penopang penerimaan negara, bukan hanya di Indonesia, namun seluruh dunia.
“Diskusi ini sangat menarik karena membahas tentang perpajakan yang menjadi urat nadi bagi keberlangsungan pemerintahan di manapun di dunia. Semoga diskusi ini memberikan kontribusi positif bagi semua pihak,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip, Selasa (29/8/2023).
Baca Juga
Menurutnya, persoalan perpajakan perlu mendapatkan perhatian dari semua elemen bangsa karena penerimaan perpajakan menjadi tulang punggung bagi kegiatan pembangunan dan layanan kepada warga negara.
“Diskusi ini menarik untuk dilakukan karena pemerintah terus berupaya memperbaiki layanan perpajakan dan terus melakukan melakukan reformasi untuk memperbaiki kebijakan perpajakan,” tambahnya.
Mengacu dalam RAPBN 2024, pemerintah menargetkan kenaikan rasio perpajakan atau tax ratio dari 9,91 persen - 10,18 persen pada 2023, menjadi menjadi 9,92 persen - 10,2 persen.
Dalam Buku Nota Keuangan, pemerintah menuliskan strategi peningkatan rasio perpajakan ini ditempuh dengan melakukan optimalisasi perluasan basis pemajakan melalui pengawasan wajib pajak (WP) sebagai tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Selain itu, implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP yang mulai wajib berlaku pada 1 Januari 2024 juga akan menjadi langkah untuk menambah pundi-pundi keuangan negara.
Meski demikian, pemerintah juga memiliki sejumlah risiko dan tantangan dalam menghimpun pajak pada Tahun Pemilu 2024. Salah satunya, seperti meningkatnya risiko geopolitik hingga shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal.
Untuk itu, Kemenkeu melakukan reformasi dalam mengelola kebijakan perpajakan agar semua upaya yang dilakukan untuk mendongkrak penerimaan pajak bisa berjalan mulus dan sukses.
Strategi tersebut berupa mengelola risiko perdagangan sistem elektronik atau dagang-el meninggalkan konsekuensi yang amat berat terhadap fiskal negara, yakni tergerusnya basis pajak atau tax base, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan alias pajak korporasi yang bakal menggerogoti potensi penerimaan pada tahun depan.
Risiko itu telah ditelaah oleh pemerintah dan dianggap sebagai salah satu aral fiskal dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2024, yang menjadi cikal bakal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.