Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia, Korea Selatan, Australia, China terus bersiap dalam implementasi Pilar II dalam solusi dua pilar perpajakan internasional. Namun, India terpantau belum ada rencana dalam penerapannya.
Implementasi Solusi II Pilar perpajakan internasional dinilai mampu menjadi solusi dalam sistem pajak global yang selama ini dianggap sudah tidak relevan sehingga memicu peningkatan risiko praktik penghindaran pajak.
Partner and Senior Foreign Attorney Co-Head of International Tax Lee & Ko, Tom Kwon, menyampaikan bahwa saat ini Korea Selatan memberlakukan pajak minimum global Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang merupakan pilar II.
Korsel menjadi negara pertama yang memberlakukan aturan GloBE, yaitu Income Inclusion rule (IRR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), ke dalam undang-undang domestiknya.
“Awalnya, peraturan GloBE Korea [baik IIR maupun UTPR] dijadwalkan berlaku efektif untuk tahun fiskal yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2024. Namun, ada proposal terbaru untuk menunda tanggal efektif UTPR hingga 1 Januari 2025,” ujarnya dalam Bloomberg Tax - Latest Developments on Pillar Two in the Asia-Pacific Region, Rabu (23/8/2023).
Sementara perwakilan dari Australia dan Indonesia, kompak bahwa masing-masing negara telah mulai mengambil langkah untuk implementasi.
Baca Juga
Sementara perwakilan India dari BMR Legal Advocates and Solicitor Seema Kejriwal mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada keterangan resmi dari pemerintahannya terkait rencana penerapan pilar dua tersebut.
Nampaknya, belum ada kesepakatan dari India terhadap penerapan tersebut. Pernyataan terbaru terkait pajak internasional tersebut, muncul pada pertemuan Menteri Keuangan AS Janet Yellen dengan Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman, Juli 2023.
“Saya menghargai fokus India dalam menyelesaikan kesepakatan pajak global Dua Pilar yang bersejarah dalam Kerangka Kerja Inklusif, dan saya percaya bahwa kita hampir mencapai kesepakatan,” ujar Yellen.
Mirip dengan India, China yang mana pemerintah belum memiliki jadwal khusus untuk legislasi/implementasi Pilar Kedua di tingkat lokal.
Meski demikian, China telah menyatakan bahwa akan mengadopsi pendekatan pragmatis dan terbuka terhadap dua pilar untuk menanggapi tantangan pajak dalam konteks digitalisasi ekonomi.
Progres Penerapan di Indonesia
Dari dalam negeri, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam mendukung dua pilar tersebut.
Managing Partner and Head of Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi menyampaikan bahwa saat ini Indonesia masih melakukan pengkajian terhadap dampak dari pilar dua perpajakan ini terhadap skema insentif dan penerimaan perpajakan.
Menurutnya, Indonesia menghadapi tantangan dari sisi kebijakan pajak minimum domestik atau qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).
“Kami menghadapi tantangan legal khususnya QDMTT, menurut aturan konstitusi, harus disetujui oleh parlemen, harus mengajukan ke parlemen, saya rasa ini benar-benar challenging bagi pemerintah,” tuturnya.
Pasalnya, dalam Pilar 2 berisiko menghilangkan hak pemajakan negara berkembang yang masih memberikan insentif kepada wajib pajak badan. Sebagaimana diketahui, Indonesia masih menebar insentif perpajakan setiap tahunnya.
Kondisi tersebut semakin mendorong Indonesia kehilangan penerimaan akibat ketentuan pada Pilar II yang memberikan kewenangan kepada negara domisili atau negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15 persen.
Sepanjang insentif masih ditebar atau pemerintah memberlakukan tarif PPh Badan kepada perusahaan multinasional di bawah 15 persen, lanjutnya, maka Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan pajak.
Untuk itu, sederet negara peserta konsensus menyusun QDMTT untuk melindungi basis pajak dari dampak penerapan pajak minimum global, terutama apabila Indonesia masih mempertahankan kebijakan tebar insentif. Namun nyatanya, QDMT tak memberikan dampak yang bagus.
“Potensi penerimaan pajak dari penerapan IIR, UTPR, STTR, dan QDMTT mungkin tidak signifikan di Indonesia,” tutur Ichwan.