Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara atau RAPBN 2024 senilai Rp1.986,9 triliun. Pada realitasnya, pemerintah dan pengamat mencatat sederet risiko yang mengintai penerimaan pajak pada 2024.
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono melihat beberapa hal yang menjadi ancaman untuk perekonomian RI yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan pajak.
“Geopolitik masih belum stabil, perang Rusia-Ukraina belum jelas penyelesaiannya. Kami belum melihat adanya tanda-tanda geopolitk akan mereda,” ujarnya dalam Diskusi ‘Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita Dalam RAPBN 2024?’ yang digelar Bisnis Indonesia Group di Penang Bistro Pakubuwono, Jakarta Selatan, Selasa (29/8/2023).
Risiko kedua, lanjut Teguh, inflasi yang masih relatif tinggi direspon dengan suku bunga yang belum menurun di negara maju. Terlebih, sikap The Fed yang masih hawkish.
Risiko akibat berlanjutnya kenaikan suku bunga tersebut mendorong krisis sistem keuangan khususnya perbankan di Amerika Serikat (AS).
Selanjutnya, ekonomi China yang nyatanya tumbuh diluar ekspektasi, yang melemah dan bahkan terpantau adanya tanda-tanda deflasi yang kemudian berdampak pada permintaan ekspor dari Indonesia.
Meski kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dikatakan lebih baik dari yang lain dan sejalan dengan inflasi yang menuju target pemerintah 2 persen hingga 4 persen, Teguh melilhat ada potensi naiknya inflasi dengan kondisi global saat ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) membukukan kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2023 mencapai 5,17 persen. Utamanya ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
“Tahun 2024 tahun pemilu jadi kita lihat kira kira dampak dari pemilu seperti apa,” tambahnya.
Adapun, pemerintah juga telah mencatat sederet risiko tersebut dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2024. Selain risiko geopolitik, meningkatnya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal.
Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan bahwa menurut data BPS, persentase pekerja informal mendominasi hingga 60 persen.
“Ini memang challenging kita. Bagaimana wajib pajak shadow economy yang memang di bawah radar. Kita coba tingkatkan kualitas dari waktu ke waktu,” katanya.
Selain itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan juga mencatat bahwa besarnya revenue forgone akibat pemberian insentif perpajakan juga memberikan risiko pada penerimaan perpajakan.
Tahun depan, pemerintah merencanakan belanja perpajakan pada 2024 sebesar Rp374,5 triliun, meningkat 6,1 persen dibandingkan dengan outlook pada 2023 (year-on-year/yoy) sebesar Rp352,8 triliun. Artinya, kata dia, besaran Rp352,8 triliun tersebut menjadi revenue forgone.
Tercatat, nilai belanja perpajakan Indonesia pada 2022 mencapai Rp323.518,0 miliar atau sebesar 1,65 persen dari PDB. Secara nominal, belanja perpajakan pada 2022 meningkat 4,4 persen dibandingkan nilai belanja perpajakan pada 2021 sebesar Rp309.995,6 miliar, yang didorong oleh mulai pulihnya perekonomian nasional.
Untuk mencapai target penerimaan tersebut, Yon mengatakan pemerintah akan mengambil langkan kegiatan prioritas seperti pembayaran masa dan pengujian kepatuhan material hingga penyempurnaan beragam regulasi.
“Kalau ada yang sektor tumbuh tapi wajib pajak nggak tumbuh, itu kita cek. Kita awasi juga insentif fasilitas yang diberikan, dan kita cek data yang dimiliki,” tambahnya.