Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hilirisasi Jokowi di Antara Kepentingan Asing & Industri Nasional

Kebijakan hilirisasi Jokowi diyakini dapat memberikan nilai tambah berlipat bagi RI. Namun, muncul kritik bahwa hilirisasi justru menguntungkan pihak asing.
Presiden Joko Widodo mengepalkan tangan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Presiden Joko Widodo mengepalkan tangan saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan penghiliran atau hilirisasi sumber daya alam menjadi salah satu sorotan utama dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Rabu (16/8/2023). Dia meyakini hilirisasi dapat menjadi peluang yang dapat membawa Indonesia menjadi negara maju mendatang.

Dalam pidatonya, Jokowi menekankan bahwa Indonesia tidak boleh menjadi bangsa pemalas yang hanya menjual kekayaan sumber daya alamnya (SDA) dalam bentuk bahan mentah. Bangsa Indonesia harus dapat mengolah lebih lanjut kekayaan alam tersebut untuk memberikan nilai tambah dalam negeri.

"Saya ingin tegaskan Indonesia tidak boleh seperti itu. Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumber dayanya, mampu memberikan nilai tambah dan menyejahterakan rakyatnya. Dan ini bisa kita lakukan melalui hilirisasi," ujarnya, saat meyampaikan Pidato Kenegaraan di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

Hilirisasi yang dilakukan, lanjut Jokowi, adalah hilirisasi yang melakukan transfer teknologi dan memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan, serta meminimalisir dampak lingkungan.

Jokowi juga mendorong program hilirisasi tidak hanya berhenti pada komoditas mineral saja, tetapi dilanjutkan pada komoditas nonmineral, seperti sawit, rumput laut, kelapa dan komoditas potensial lainnya yang mengoptimalkan kandungan lokal dan yang bermitra dengan UMKM petani dan nelayan.

“Upaya ini sedang kita lakukan dan harus terus dilanjutkan. Ini memang pahit bagi pengekspor bahan mentah. Ini juga pahit bagi pendapatan negara jangka pendek. Tapi jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, jika pabrik pengolahannya sudah beroperasi, saya pastikan ini akan berbuah manis pada akhirnya. Terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” katanya.

Sebagai gambaran, lanjut Jokowi, setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel pada 2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat. Dia memaparkan, saat ini sudah ada 43 pabrik pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.

"Ini baru satu komoditas dan jika kita konsisten dan mampu melakukan hilirisasi untuk nikel tembaga bauksit CPO dan rumput laut,” kata dia.

Berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun, Jokowi memproyeksikan pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai Rp153 juta (US$ 10.900).

“Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp217 juta (US$ 15.800). Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp331 juta (US$ 25.000),” kata dia.

Sebagai perbandingan, tahun 2022 kemarin, pendapatan per kapita berada di angka Rp71 juta. Artinya, dalam 10 tahun lompatannya bisa mencapai 2 kali lipat lebih.

“Di mana fondasi untuk menggapai itu semua sudah kita mulai, pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang pada akhirnya menaikkan daya saing kita,” kata dia.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengapresiasi gagasan dan konsistensi Jokowi dalam melakukan hilirisasi mineral logam sejak Januari 2020.

Bamsoet mengatakan, konsistensi tersebut belakangan telah memperlihatkan hasil yang signifikan untuk peningkatan kualitas industri nasional dari sisi pemurnian hingga pengolahan tahap awal mineral domestik.

“Sebagaimana yang digagas Presiden Joko Widodo tentang hilirisasi mineral, emas, bauksit, nikel, tembaga dan bijih besi, yang dibarengi dengan upaya pelarangan ekspor mineral mentah,” kata Bamsoet saat menyampaikan Pidato Pengantar Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

Bamsoet menuturkan, kebijakan Jokowi pada masa ke-2 pemerintahannya telah mendorong investasi yang masif untuk pembentukan industri pengolahan lebih lanjut mineral mentah di dalam negeri.

Dia berharap sumber daya mentah itu nantinya dapat sepenuhnya dikelola sendiri di dalam negeri untuk penciptaan nilai tambah berlipat bagi kesejahteraan nasional.

“Sehingga menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi, dan menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” kata dia.

Hilirisasi Dinilai Lebih Untungkan China

Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengkritisi kebijakan hilirisasi Jokowi yang justru lebih banyak dinikmati China ketimbang Indonesia.

Dia mengatakan, Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, 99 persen dari NPI ini diekspor ke China. Dengan demikian, menurutnya, kebijakan tersebut lebih mendukung pengembangan industri di China.

“Sungguh dari hilirisasi kita tidak dapat banyak, maksimum 10 persen, 90 persennya lari ke China,” tutur Faisal dalam diskusi Kajian Tengah Tahun Indef, Selasa (8/8/2023).

Dia memandang pemerintah seharusnya menggalakkan kebijakan industrialisasi yang menurutnya bisa lebih mendorong penciptaan rantai bisnis terstruktur.

“Sayangnya tidak ada yang namanya strategi industrialisasi, yang ada kebijakan hilirisasi,” katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Faisal menjelaskan lebih lanjut bagaimana hilirisasi yang ada saat ini lebih menguntungkan China. Menurutnya, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel di dalam negeri dimiliki oleh China, sementara Indonesia menganut rezim devisa bebas di mana perusahaan China punya hak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Hal ini membuat ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. “Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” kata Faisal.

Terlebih, untuk perusahaan smelter nikel tidak seperti komoditi sawit yang dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan. Smelter nikel ini diketahui bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih

“Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional,” ucap Faisal.

Lebih lanjut, menurut Faisal, perusahaan smelter China sama sekali tidak membayar royalti. Beban membayar royalti dibebankan kepada perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Faisal menekankan bahwa dirinya sepenuhnya mendukung industrialisasi dalam negeri. Namun, dia menolak kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuk yang berlaku saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper