Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faisal Basri Membalas Jokowi soal Hilirisasi: Perhitungannya Tak Jelas

Ekonom Senior Faisal Basri kembali menyanggah pernyataan Presiden Jokowi terkait manfaat yang diperoleh Indonesia dari hilirisasi nikel
Ekonom Senior Indef Faisal Basri dalam sesi Podcast bersama BisnisTV di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (6/6/2023). Dok. Youtube Bisniscom
Ekonom Senior Indef Faisal Basri dalam sesi Podcast bersama BisnisTV di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (6/6/2023). Dok. Youtube Bisniscom

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri balik mengkritisi pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait keuntungan yang diperoleh Indonesia dari hilirisasi nikel.

Presiden Jokowi menyebut bahwa hilirisasi nikel telah meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, dari Rp17 triliun saat nikel masih diekspor mentahan menjadi Rp510 triliun ketika nikel telah diolah lebih dulu di dalam negeri. Hal itu ia sampaikan saat menjawab kritik Faisal Basri yang menyebut hilirisasi nikel justru lebih banyak dinikmati China, Kamis (10/8/2023).

Merespons balik pernyataan Jokowi tersebut, Faisal menyebut angka yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

Faisal mengatakan, berdasarkan data tahun 2014, nilai ekspor bijih nikel hanya US$85,913 juta atau sekitar Rp1 triliun jika dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per US$.

“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar atau setara dengan Rp413,9 triliun (setara dengan Rp413,9 triliun dikalikan kurs 2022 14.876 per US$),” tulis Faisal dalam blognya, Jumat (11/8/2023). Bisnis telah meminta izin untuk mengutip pernyataan Faisal tersebut.

Meski ada perbedaan data dan angka dengan Jokowi, Faisal membenarkan bahwa terdapat lonjakan ekspor yang fantastis dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.

Namun, Faisal menganggap bahwa lonjakan tersebut tidak ada artinya. Sebab, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas di mana perusahaan China punya hak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Hal ini membuat ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. 

“Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” kata Faisal.

Lebih Untungkan China

Terlebih, untuk perusahaan smelter nikel tidak seperti komoditi sawit yang dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan. Smelter nikel ini diketahui bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih

“Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional,” ucap Faisal.

Lebih lanjut, menurut Faisal, perusahaan smelter China sama sekali tidak membayar royalti. Beban membayar royalti dibebankan kepada perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.

Faisal menekankan bahwa dirinya sepenuhnya mendukung industrialisasi dalam negeri. Namun, dia menolak kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuk yang berlaku saat ini.

Menurutnya, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Produk olahan nikel yang diekspor, kata Faisal, sebagian besar masih dalam bentuk produk seperempat jadi, seperti feronikel, nickel pig iron, dan nickel matte. Produk-produk tersebut hampir seluruhnya diekspor ke China dan diolah lebih lanjut oleh China untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi.

Lalu, lanjut Faisal, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products.

"Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit," tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah telah membuat strategi industrialisasi yang menyeluruh sehingga memberikan nilai tambah yang lebih baik di dalam negeri ke depannya.

“Hitungan dia gimana? Kalau hitungan kami, saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, setahun kira-kira [nilai tambah] hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Bayangkan saja,” ujarnya saat merespons kritik Faisal Basri, Kamis (10/8/2023).

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan bahwa melalui hilirisasi pemerintah juga meraih pemasukan melalui kenaikan nilai tambah tersebut. Pemasukan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Pasal (Pph) Badan, PPh Karyawan, PPh Perusahaan, royalty, bea ekspor, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Jadi. logikanya tidak seperti itu, logikanya tadi sudah diberikan angka. Artinya apa? Kontribusi terhadap PDB itu pasti lebih besar dong, logikanya bagaimana,” pungkas Jokowi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper