Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faisal Basri Tuding Hilirisasi Jokowi Untungkan China, Kemenperin Pasang Badan

Kemenperin menyebut keuntungan hilirisasi nikel perlu dilihat dari arah pendekatan nilai tambah ekonomi, jangan hanya dilihat dari kepemilikan smelter.
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengeklaim bahwa program hilirisasi nikel yang digalakkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak-pajak lain yang nilainya mencapai triliunan rupiah. 

Berdasarkan data Kemenperin, saat ini tercatat sebanyak 34 smelter telah beroperasi dan 17 smelter dalam tahap konstruksi. Selama masa konstruksi, smelter telah menyerap produk lokal dan mempekerjakan sekitar 120.000 orang. 

Adapun, nilai investasi pada sejumlah smelter seperti pyrometalurgi senilai US$11 miliar atau Rp165 triliun hingga tiga smelter hydrometalurgi senilai US$2,8 miliar atau Rp40 triliun yang akan memproduksi mixed hydro precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai.  

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, masifnya investasi smelter akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah sehingga meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Dalam hal ini, lokasi smelter tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Banten. 

Dia mencontohkan, Sulawesi Tengggara sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74 persen pada tahun 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel. 

"Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional," kata Febri dalam siaran pers, Minggu (13/8/2023). 

Secara terperinci, Febri menerangkan, besaran multiplier effect smelter nikel dapat terlihat dari nilai tambah. Pihaknya telah menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari bijih nikel hingga produk hilir meningkat jika diproses di dalam negeri.

Apabila nilai bijih (ore) nikel mentah dihargai US$30/ton, ketika menjadi nikel pig iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai US$90/ton, sedangkan bila menjadi feronikel, akan naik 6,76 kali atau setara US$203/ton.

Ketika hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan nikel matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau US$3.117/ton. Terlebih, sekarang Indonesia memiliki smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (US$3.628/ton). 

“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat," tambahnya.

Menurutnya, hal tersebut akan menambah pemasukan PNBP dan pajak-pajak lain yang nilainya triliunan rupiah. Jika dilihat dari perolehan PNBP, sektor logam nikel juga mengalami kenaikan, terutama dari daerah-daerah penghasil nikel.

Tahun 2022, PNBP dari daerah penghasil nikel mencapai Rp10,8 triliun, meningkat dari 2021 yang sebesar Rp3,42 triliun. Total PNBP dari lima provinsi penghasil nikel mencapai Rp20,46 triliun sepanjang 2021 hingga triwulan II/2023.

Adapun, provinsi Sulawesi Tenggara merupakan penyumbang terbesar PNBP (Rp8,73 triliun), disusul provinsi Maluku Utara (Rp6,23 triliun).

Di samping itu, Febri menunjukkan posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel yang diklaim menguat dalam beberapa tahun terakhir, utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel dijalankan. 

Ekspor stainless steel, baik dalam bentuk slab, HRC maupun CRC, menyentuh angka US$10,83 miliar di tahun   2022. Nilai ekspor ini meningkat 4,9 persen dari tahun 2021 yang sebesar US$10,32 miliar. 

Berdasarkan data worldstopexport tahun 2022, Indonesia menjadi eksportir HRC urutan pertama dunia dengan nilai US$4,1 miliar. Febri menambahkan, ekspor produk hilir dari nikel lainnya juga terus meningkat pesat.

Tercatat pada tahun 2022, nilai ekspor feronikel mencapai US$13,6 miliar, atau meningkat 92 persen dibandingkan nilai ekspor pada tahun 2021 yang sebesar US$7,08 miliar. Nilai ekspor nikel matte juga melonjak sebesar 300 persen, dari US$0,95 miliar pada tahun 2021 menjadi US$3,82 miliar pada tahun 2022. 

Keutamaan lain ekonomi hilirisasi ini adalah ekspor Sulawesi Tengggara pada 2022 mencapai US$5,83 miliar dengan US$5,7 milliar atau 99,30 persen didominasi oleh golongan besi baja berupa feronikel (FeNi), nickel pig iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) nikel di wilayah ini. 

Hadirnya smelter dalam kerangka hilirisasi nikel ini juga memberikan dampak pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayah sekitar smelter. Selain itu, aglomerasi ekonomi di wilayah tersebut juga ikut meningkat. 

“Hilirisasi jangan dilihat dari ownership smelter, baik itu PMA atau PMDN, tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi sehingga benefit yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” pungkasnya. 

Dalam hal ini, Kemenperin mendukung dan membenarkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa ekspor bahan mentah hanya memberikan pemasukan Rp17 triliun, sementara jika ekspor dilakukan pada produk hasil hilirisasi nikel angka pemasukan dapat mencapai Rp510 triliun. Artinya, penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat.

Sebelumnya, ramai diberitakan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mempertanyakan angka ekspor produk hilirisasi nikel tahun 2022 senilai Rp510 triliun yang disebut oleh Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah pascahilirasi nikel. 

Faisal membenarkan bahwa terdapat lonjakan ekspor yang fantastis dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.

Namun, Faisal menganggap bahwa lonjakan tersebut tidak ada artinya. Sebab, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas di mana perusahaan China punya hak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri. Hal ini membuat ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

“Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” kata Faisal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper