Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kronologi Adu Klaim Faisal Basri vs Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi Nikel

Berikut kronologi adu klaim antara ekonomi senior Indef Faisal Basri dan Presiden Jokowi soal keuntungan hilirisasi nikel.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri (Kiri) dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi (Kanan). Dok Istimewa
Ekonom Senior Indef Faisal Basri (Kiri) dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi (Kanan). Dok Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Nama Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menjadi sorotan publik setelah dia melontarkan pernyataan kontroversial terkait program hilirisasi nikel yang kerap kali dibanggakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Faisal Basri bahkan sempat beradu pendapat soal keuntungan hilirisasi nikel. Jokowi keukeuh bahwa program hilirisasi memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Di sisi lain, Faisal Basri justru menilai hilirisasi nikel justru hanya menguntungkan pihak China. Lantas, apakah hasil dari hilirisasi nikel benar-benar masuk ke kantor RI atau justru lari ke China? 

Berikut kronologi adu pendapat antara Faisal Basri dan Jokowi soal dampak hilirisasi nikel yang dirangkum Bisnis.com. 

Kronologi Faisal Basri vs Jokowi soal Hilirisasi Nikel  

Isu soal dampak hilirisasi nikel justru lari ke China diungkapkan oleh Faisal Basri pertama kali saat dia menjadi pembicara di acara iskusi Kajian Tengah Tahun Indef yang digelar pada Selasa (8/8/2023). 

Kala itu, Faisal mengingatkan agar pemerintah membuat strategi industrialisasi yang menyeluruh sehingga memberikan nilai tambah yang lebih baik di dalam negeri.  Dalam kesempatan itu, Faisal Basri mengatakan pemerintah seharusnya menggalakkan kebijakan industrialisasi yang menurutnya bisa lebih mendorong penciptaan rantai bisnis terstruktur. 

“Sayangnya tidak ada yang namanya strategi industrialisasi, yang ada kebijakan hilirisasi,” katanya dalam diskusi Kajian Tengah Tahun Indef, Selasa (8/8/2023).

Dia menjelaskan pentingnya strategi agar tidak hanya meningkatkan nilai tambah, kebijakan industrialisasi juga akan mendorong struktur industri dan ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat.

Realitas yang terjadi saat ini, kata Faisal, program hilirisasi pemerintah lebih banyak dinikmati China ketimbang Indonesia sendiri.  Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, 99 persen dari NPI ini diekspor ke China.

Dengan demikian, menurutnya, kebijakan hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah justu lebih mendukung pengembangan industri di China. 

Kronologi Adu Klaim Faisal Basri vs Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi Nikel

Presiden Jokowi memberikan keterangan di hadapan awak media di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, pada Kamis, 10 Agustus 2023. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Jawaban Menohok Jokowi  

Dua hari berselang, Jokowi angkat bicara terkait dengan pernyataan ekonom Faisal Basri soal program hilirisasi pemerintah lebih banyak dinikmati oleh China ketimbang Indonesia sendiri.

Menurutnya, pemerintah telah membuat strategi industrialisasi yang menyeluruh sehingga memberikan nilai tambah yang lebih baik di dalam negeri kedepannya. Jokowi pun kembali mempertanyakan kalkulasi dari ekonom senior tersebut.

“Hitungan dia gimana? kalau hitungan kami, saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, setahun kira-kira [nilai tambah] hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial down streaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Bayangkan saja,” ujarnya kepada wartawan di Stasiun LRT Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023).

Jokowi melanjutkan, bahwa melalui hilirisasi pemerintah juga meraih pemasukan melalui kenaikan nilai tambah tersebut. Pemasukan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Pasal (Pph) Badan, PPh Karyawan, PPh Perusahaan, royalty, bea ekspor, hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Jadi, logikanya tidak seperti itu, logikanya tadi sudah diberikan angka. Artinya apa? Kontribusi terhadap PDB itu pasti lebih besar dong, logikanya bagaimana,” pungkas Jokowi.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20230811/44/1683923/faisal-basri-membalas-jokowi-soal-hilirisasi-perhitungannya-tak-jelas

Faisal Beberkan Data HS Ekspor 

Sementara itu, Faisal melihat dari sanggahan Jokowi tersebut justru memberikan fakta-fakta berupa angka yang tidak akurat. Pasalnya, kata dia, Presiden Jokowi hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China.

“Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” tulis Faisal dalam blog pribadinya, Jumat (11/8/2023).

Faisal kembali mempertanyakan angka Rp510 triliun yang disebut oleh Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah pascahilirasi nikel.

Berdasarkan data, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil hilirisasi hanya mencapai US$27,8 miliar atau setara dengan Rp413,9 triliun (dengan asumsi Rp14.876 per dolar AS), yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi. 

"Faktanya, memang tak ada yang menampik bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Bahkan ekspor dari hasil hilirisasi melonjak hingga 414 persen," tulis Faisal Basri. 

Kronologi Adu Klaim Faisal Basri vs Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi Nikel
Data Ekspor Besi dan Baja (HS 72) Sumber: faisalbasri.com

Sayangnya, dia menilai bukan Indonesia yang menikmati nilai tambah tinggi tersebut, namun pihak China. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen. Bagaimana bisa?

Faisal menjelaskan Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, sebesar 99 persen dari NPI ini diekspor ke China. Dengan demikian, menurutnya kebijakan tersebut lebih mendukung pengembangan industri di China.

Dia menghitung bahwa ekspor besi dan baja Indonesia yang naik signifikan sebagai dampak dari program hilirisasi, seharusnya komoditas ini bisa lebih ditingkatkan lagi nilai tambahnya di dalam negeri.

Fakta lainnya, Faisal melihat tidak semua uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Mengingat, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, sementara kala itu Indonesia menganut rezim devisa bebas.

Perusahaan China pun tidak wajib menempatkan devisa hasil ekspor di Indonesia, yang kemudian membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Bukti Indonesia yang dirugikan juga terlihat dari ekspor olahan bijih nikel yang sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya, melalui tax holiday.

“Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” tambahnya.

Dia mengatakan perusahaan smelter China juga tidak membayar royalti sepeser pun. Justru perusahaan penambang nikel, yang hampir semua adalah pengusaha nasional, yang membayar royalti. Pemerintah hanya pernah menerima pajak ekspor, ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel.

Kronologi Adu Klaim Faisal Basri vs Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi Nikel
Data Ekspor Ferro-nikel RI ke China. Sumber: faisalbasri.com

 

Meski demikian, Faisal menegaskan bahwa dia mendukung sepenuhnya industrialisasi. Namun, dia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. 

"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," jelasnya. 

Dia mengatakan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen per 2022. Data ini menjadi titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20230810/257/1683661/jalan-mundur-industri-manufaktur-kembali-ke-30-tahun-lalu

Bukan itu saja, Faisal menilai keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Dia meminta masyarakat jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.

"Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit," ungkapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper