Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dikritik Faisal Basri, Anak Buah Luhut Bela Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi

Anak buah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menepis berbagai data dan pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri soal hilirisasi pemerintahan Presiden Jokowi
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Polemik pernyataan kontroversial dari Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fasial Basri belum usai. Kini, anak buah Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan turun tangan. 

Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menepis berbagai data dan pernyataan yang dilontarkan Faisal Basri, mulai dari data ekspor produk hilirisasi nikel hingga program hilirisasi pemerintah yang menguntungkan China.

"Kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$27,8 miliar atau Rp413,9 triliun," kata Seto dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (13/8/2023). 

Sebelumnya, Faisal mempertanyakan angka ekspor hilirisasi nikel pada 2022 senilai Rp510 triliun yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah pascahilirasi nikel. 

Berdasarkan data Faisal, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil hilirisasi hanya mencapai US$27,8 miliar atau setara dengan Rp413,9 triliun (asumsi kurs Rp14.876 per dolar AS).

Untuk itu, Seto memberikan klarifikasi data tersebut. Menurutnya, Faisal tidak memasukkan data eskpor olahan nikel lainnya, seperti nickel matte dan mixed hydrate precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75 yang mencapai angka US$3,8 miliar dan US$2,1 miliar. 

"Selain itu, masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73. Jika angka ekspor semuanya ditotal maka angkanya adalah US$34,3 miliar atau Rp510,1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan," ujarnya. 

Di sisi lain, Seto juga menepis tudingan Faisal yang menekankan program hilirisasi pemerintah lebih banyak dinikmati China ketimbang Indonesia. Tudingan itu lantaran Indonesia dinilai baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel, sementara 99 persen dari NPI ini diekspor ke China. 

Dalam hal tersebut, menurut Seto, cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal Basri salah. Pasalnya, jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan, semestinya nilai manfaat dari bijih nikel yang Indonesia miliki 100 persen dinikmati oleh negara lain sehingga tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.

Berdasarkan analisis Seto, dari 100 persen nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40 persen, 12 persen laba operasi yang bisa dinikmati investor, dan 48 persen adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut. 

"Dari 48 persen angka tersebut, 32 persen dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara [untuk listrik], tenaga kerja, dan bahan baku lain sehingga hanya 16 persen yang dinikmati oleh pihak supplier dari luar negeri," terang Seto. 

Berdasarkan hitungan tersebut, Seto mengatakan bahwa nilai tambah yang dinikmati oleh pihak luar negeri (investor dan supplier) adalah 16 persen ditambah komponen laba operasi 12 persen sehingga menjadi 28 persen.

Artinya, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32 persen atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53 persen (32 persen dibagi 32 persen, ditambah 12 persen, ditambah 16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel. 

"Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, tidak lagi mendapatkan tax holiday atau bahkan ada keterlibatan investor lokal," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper