Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Eko Ariyanto

Pegawai di Kemenkeu dan Studi S3 Kebijakan Publik di FEB Universitas Trisakti

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menyoal Kesetaraan Pajak Natura Kenikmatan

Ketidakadilan dalam berbagai bentuk menjadi isu utama perbaikan di dunia. Tidak saja di negara maju, juga di negara belum maju.
Ilustrasi pajak natura atau pajak kenikmatan karyawan. Dok Freepik
Ilustrasi pajak natura atau pajak kenikmatan karyawan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakadilan dalam berbagai bentuk menjadi isu utama perbaikan di dunia. Tidak saja di negara maju, juga di negara belum maju. Secara kebijakan publik biasanya dipicu adanya perbedaan mengenai “kesetaraan”. Baik dalam kesetaraan perekonomian, sosial, gender, pemerataan kesempatan belajar, pun juga dalam pemajakan.

Nah, artinya masih ada masalah “kesetaraan” dalam pemajakan? Masih ada, dan ini salah satunya.

Pada umumnya, imbalan atas pekerjaan atau transaksi jasa adalah dalam bentuk uang. Namun, pada praktiknya bisa dalam “bentuk lainnya”. Bisa berbentuk barang. Dapat berupa fasilitas, pelayanan, hak istimewa (privillege), atau hak pemakaian.

Misalnya, selain gaji dan tunjangan bagi sebagian besar pegawainya, perusahaan seringkali menambahkan penghasilan lainnya bagi direksi atau level tertentu. Bentuknya sangat bervariasi, mulai dari fasilitas mobil mewah, apartemen ekslusif, membership golf, bonus berupa saham, dan berbagai bentuk kompensasi khusus lainnya bagi pemegang saham.

Sebagai catatan, dalam perpajakan inilah yang disebut “natura kenikmatan” (fringe benefits). Imbalan tidak dalam bentuk uang (non-cash). Natura, jika berbentuk barang. Kenikmatan, jika berupa fasilitas. Padahal, prinsipnya sesuai regulasi perpajakan adalah merupakan “tambahan kemampuan ekonomis” bagi Penerimanya, dan seharusnya menjadi objek pajak penghasilan (PPh).

Perbedaan bentuknya menyebabkan beda perlakuan pemajakan. Penghasilan berupa gaji dan tunjangan pegawai umumnya yang berbentuk uang (cash) dikenakan pajak, namun atas fasilitas dan kompensasi bagi high-level tertentu tidak dikenakan.

Pemajakan yang berbeda sehingga terjadi pengalihan pendapatan dari basis pajak perusahaan ke basis pajak orang pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya dari perusahaan atau individu pemegang saham untuk menghindari atau mengurangi beban pajak yang harus mereka bayar kepada pemerintah (Slemrod dan Gordon, 1998).

Dari perspektif kesetaraan, keadilan perpajakan menuntut agar semua wajib pajak (WP) diperlakukan secara adil dan setara dalam pembayaran pajak. Pemajakan atas natura kenikmatan menjadi isu penting karena WP yang menerima imbalan tersebut tidak membayar PPh. Hal ini bisa dianggap sebagai ketidakadilan karena memiliki beban pajak yang lebih ringan daripada WP lain yang membayar pajak dari gaji tunai.

Pemajakan atas penghasilan dari natura kenikmatan ini menjadi isu utama terkini. Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023, beleid ini mendasari kewajiban pemotongan sebagai objek PPh sejak 1 Juli 2023. Respons Pemberi dan Penerima sangat beragam. Pengaturan sebelumnya, bukan sebagai objek PPh bagi pegawai sebagai Penerima dan tidak dapat dibiayakan bagi perusahaan sebagai Pemberi.

Dengan beleid ini, mengawali rekonstruksi pengaturan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan perlakuan PPh. Atas apa? Terhadap biaya (sisi Pemberi) atau penghasilan (sisi Penerima), berupa penggantian atau imbalan, sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, serta untuk menghindari upaya penggerusan basis pajak. Tiap skema transaksi sebagai dasar pemberian oleh perusahaan (underlying transaction) akan menentukan pemajakannya.

Mari kita cermati pokok-pokok pengaturannya. Pertama, menjadi kepastian hukum bagi pihak Pemberi yang dapat membiayakannya sepanjang untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M). Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip matching cost against revenue dalam akuntansi, yaitu memaksimalkan laba dengan seminimalnya biaya sebagai sustainable procedure tiap industri (Mohajan, 2022).

Lalu kedua, menjadi objek PPh bagi pihak Penerima. Hal ini memberikan keadilan pemajakan dan kesetaraan perlakuan, yaitu pengenaan objek PPh atas suatu jenis penghasilan tidak memandang perbedaan bentuknya, baik dalam uang maupun selain uang.

Dan ketiga, ada pengecualian sebagai objek PPh. Dalam lampiran beleid diberikan cakupan batasan dan objek yang dikecualikan, yaitu ada 11 (sebelas) jenis berikut contoh-contoh kasus untuk kemudahan analogi transaksi bagi Pemberi sebagai pemotong pajak.

Jenis dan batasan yang dikecualikan sangat mempertimbangkan kepantasan, dengan bertujuan mendorong perusahaan/ pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, bukan level tertentu saja. Misalnya makan minum untuk seluruh pegawai, bingkisan dalam rangka hari besar keagamaan, atau fasilitas oleh perusahaan yang bersifat “komunal” dengan pemanfaatan secara bersama-sama seperti mes karyawan, asrama, pondokan.

Batasan tersebut telah mempertimbangkan indeks harga beli, survei standar biaya hidup, standar biaya masukan, sport development index, dan benchmark beberapa negara. Misalnya batasan kupon makanan/ minuman sebesar Rp. 2 juta/bulan/pegawai, sementara di Jepang Rp. 400 ribu. Termasuk pelaksanaan pekerjaan karena "required by law", yaitu mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Upaya pengalihan pemajakan tidak selalu ilegal. Beberapa skema tersebut dapat sesuai dengan hukum perpajakan dan dianggap sebagai bagian dari strategi bisnis yang sah. Namun, jika pengalihan pemajakan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pembayaran pajak yang seharusnya, hal ini dapat dianggap sebagai praktik pajak agresif dan bisa menimbulkan masalah ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Dalih keadilan pemajakan dan untuk menghindari penggerusan basis pemajakan juga harus mempertimbangkan biaya kepatuhan WP dengan aturan pajak yang dapat diadministrasikan, tidak mempengaruhi keputusan ekonomi atau produktivitas secara negatif, dan meminimalkan distorsi pajak (Katz dan Mankiw, 1985).

Pentingnya mengatasi isu ketidakadilan pemajakan dan mengevaluasi kembali sistem perpajakan adalah untuk memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara adil, dan sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing individu dan perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Eko Ariyanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper