Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bhayu Purnomo

Ekonom Kementerian Keuangan RI

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menilik Kemampuan Adaptasi Perlinsos

Kebijakan perlinsos memang perlu untuk dapat beradaptasi karena merupakan kebijakan yang dekat dengan masyarakat
Pennyaluran bantuan sosial tunai. /Istimewa
Pennyaluran bantuan sosial tunai. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berhasil menunjukan bahwa fleksibilitas kebijakan dapat membantu mengoptimalkan anggaran negara.

Pada saat pandemi Covid-19, kebijakan “gas-dan-rem” yang dijalankan bersamaan dengan kebijakan perlindungan sosial (perlinsos) seperti bantuan langsung tunai, insentif kepada UMKM serta program penciptaan lapangan pekerjaan, memberikan hasil yang optimal dalam mengelola dampak pandemi pada kelompok masyarakat rentan dengan tetap menjaga kredibilitas pengelolaan anggaran.

Fleksibilitas kebijakan ini adalah bentuk adaptasi kebijakan di Indonesia, termasuk dalam kebijakan perlinsos, yang kemudian mendapat apresiasi dari dunia internasional. Kebijakan perlinsos memang perlu untuk dapat beradaptasi karena merupakan kebijakan yang dekat dengan masyarakat sehingga perlu menghindari logika sekadar pemenuhan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian teknis maupun dijalankan dengan pendekatan business as usual.

Pada periode Orde Baru, kebijakan perlinsos di Indonesia relatif tersentralisasi, mewakili kondisi politik saat itu. Kebijakan lazim dilakukan melalui pendekatan sektoral (sectoral policies) yang disusun pemerintah pusat. Kebijakan seperti swasembada pangan dan penyediaan pelayanan publik (Infrastruktur, Kesehatan & Pendidikan) dijalankan berdasarkan arahan pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan pada sektor-sektor tertentu.

Masih di periode yang sama, kebijakan perlinsos berevolusi menjadi berbasis kewilayahan (geographical based policies), didasarkan oleh penggabungan beberapa kebijakan sektoral untuk mengatasi permasalahan suatu area tertentu. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan contoh kebijakan kewilayahan yang pada periode itu cukup berhasil dalam menurunkan tingkat kemiskinan nasional.

Setelah reformasi 1998, kebijakan perlinsos di Indonesia makin berkembang. Dengan kondisi politik yang lebih terbuka dan kebutuhan membantu masyarakat menghadapi dampak krisis, kebijakan perlinsos disusun dengan cakupan yang lebih luas dan target yang lebih terarah.

Program Keluarga Harapan (PKH) adalah salah satu contoh kebijakan perlinsos yang bertujuan luas (nationwide), tetapi dengan suatu batasan kriteria penerima. Pemberian subsidi kepada masyarakat miskin dan inisiasi program jaminan sosial nasional menjadi contoh lain kebijakan perlinsos Indonesia yang bersifat luas.

Selain itu, dengan kondisi politik dan penganggaran yang makin terdesentralisasi, kebijakan pendekatan geografis pun mulai berubah menjadi pendekatan berbasis komunitas (community driven program).

Sulit untuk memisahkan keberhasilan program perlinsos tanpa menyandingkan dengan kondisi ketika kebijakan tersebut dijalankan.

Sebagai contoh, keberhasilan kebijakan pada periode Orde Baru amat terkait dengan kondisi dimana kebijakan pemerintah pusat dapat langsung dijalankan secara utuh oleh pemerintah daerah.

Menariknya, pengaruh pemerintah pusat kepada daerah ini bukan suatu ketentuan baku dalam menentukan keberhasilan kebijakan.

Sebagai pembanding, dengan dimulainya otonomi daerah dan desentralisasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang kemudian berevolusi menjadi kebijakan Dana Desa, justru menjadi efektif karena didukung kondisi yang memungkinkan masyarakat merancang dan melaksanakan pembangunan sesuai kebutuhan tanpa diarahkan secara langsung oleh pemerintah pusat.

Keberhasilan kebijakan Indonesia pada saat pandemi juga tidak lepas dengan program penganggaran yang lebih fleksibel melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) serta dukungan politik dari eksekutif dan legislatif.

Aspirasi Indonesia melalui pengembangan kebijakan perlinsos “sepanjang hayat” diharapkan dapat mengelola tantangan Indonesia di masa depan.

Tantangan demografi, bencana alam, dan perubahan iklim memang merupakan tantangan multigeneration yang perlu dikelola secara menyeluruh. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan “sepanjang hayat” menjadi masuk akal dengan logika bahwa kehidupan manusia adalah siklus dari lahir hingga meninggal.

Meskipun demikian, evaluasi terhadap jenis kebijakan ini perlu menjadi perhatian. Secara teori, program perlinsos perlu disusun untuk mendorong penerima bantuan dapat keluar dari program tersebut.

Menoleransi suatu kebijakan untuk membantu masyarakat terus menerus sepanjang hayat sepertinya bukan keputusan yang bertanggung jawab.

Masyarakat rentan jelas perlu difasilitasi untuk bergerak ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Namun, pada saat mereka berhasil lulus ke tingkat pendapatan yang lebih baik, bukan berarti mereka menjadi diluar cakupan kebijakan perlinsos.

Kebijakan perlu menjadi adaptif untuk mempertimbangkan kondisi dimana masyarakat dengan pendapatan yang relatif baik kemudian terdampak negatif oleh suatu guncangan eksternal atau krisis.

Kondisi resesi ekonomi, lonjakan inflasi, bencana alam, atau pembatasan mobilitas, dapat mendorong masyarakat yang awalnya tergolong mampu menjadi rentan atau bahkan menjadi miskin.

Oleh karena itu, kebijakan perlu disiapkan untuk dapat beradaptasi dalam menyediakan pelebaran cakupan perlinsos pada saat terjadinya krisis. Namun, kebijakan adaptif ini juga perlu menghindari beban berlebihan kepada anggaran negara.

Secara teori, program sosial berbasis non iuran (non-contributory), seperti transfer tunai dan subsidi langsung, penting dalam membantu masyarakat rentan dan berpenghasilan rendah menerima cakupan dasar perlindungan sosial (basic social coverage).

Namun, pembiayaan program jenis ini lazim bergantung sepenuhnya kepada anggaran pemerintah. Untuk menjaga uang masyarakat dibelanjakan dengan baik, program jenis ini relatif terbatas (restricted) karena selalu dijaga agar tidak digunakan masyarakat diluar target kebijakan.

Disisi lain, banyak masyarakat mampu dan mempunyai kemauan untuk berkontribusi masih membutuhkan basic social coverage, antara lain pada kondisi krisis. Dalam pendekatan intertemporal, masyarakat jenis ini dapat menjadi sumber pendanaan.

Adanya pilihan pendekatan iuran (contributory), dapat membantu masyarakat kategori ini untuk tetap terlindungi oleh program sosial pada saat terjadinya penurunan pendapatan yang ekstrem. Memperluas jenis kebijakan ini tidak saja membantu mengelola kendala keterbatasan anggaran tetapi juga dapat membuat kebijakan menjadi lebih adaptif.

Risiko anggaran selalu terletak pada bagaimana negara membelanjakan uang masyarakat secara optimal. Dengan kebutuhan menyusun skala prioritas, tersedianya data yang relevan diharapkan dapat mendorong penyusun kebijakan untuk dapat berkompetisi dalam penggunaan anggaran.

Dengan pengalaman periode pandemi, akan sangat layak jika kebijakan perlinsos perlu juga memasukkan data dan analisa terkait potensi krisis, bencana, serta perubahan iklim.

Hal ini untuk memastikan kebijakan dapat beradaptasi dengan kondisi masyarakat. Di sisi lain, kebijakan yang adaptif juga perlu memastikan bahwa uang masyarakat digunakan dengan tata kelola yang baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Bhayu Purnomo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper