Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kementerian ESDM Bakal Lepas Saham INCO ke Publik Jika MIND ID Mundur

Kementerian ESDM membuka peluang adanya kemungkinan kewajiban divestasi 14 persen PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) dilepas ke publik seandainya MIND ID mundur. 
Menteri ESDM Arifin Tasrif. Bisnis/Abdullah Azzam
Menteri ESDM Arifin Tasrif. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasfrif membeberkan adanya kemungkinan kewajiban divestasi 14 persen PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) bakal dilepas ke publik. 

Peluang itu, kata Arifin, akan diambil jika dalam negosiasi terakhir PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID memilih menarik diri dari transaksi alih saham nantinya. 

“Kalau MIND ID tidak membeli ya mungkin kejadiannya seperti yang dulu lagi [tahun 1988], dilepas ke bursa,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (14/7/2023). 

Potensi mundurnya holding hulu tambang pelat merah dari proses transaksi divestasi INCO itu cukup beralasan di tengah posisi Vale Canada Limited (VCL) yang tetap kuat sebagai pengendali operasional portofolio tambang di Sulawesi tersebut. 

Arifin membeberkan VCL tetap memegang hak pengendali operasional untuk aset tambang milik INCO dalam negosiasi terakhir kewajiban divestasi dengan MIND ID. 

Sebagai gantinya belakangan INCO, lewat dua pemegang saham mayoritas asing mereka VCL dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd. (SMM), setuju untuk melepas porsi lebih besar mencapai 14 persen sebagai kewajiban divestasi syarat perpanjangan kontrak konsesi tambang yang bakal berakhir Desember 2025 mendatang. 

Seperti diketahui, awalnya sisa kewajiban divestasi yang dihitung hanya berada di angka 11 persen, setelah perseroan dua kali melepas saham untuk entitas domestik masing-masing sebesar 20 persen. 

“Jadi memang sudah ini sih kesepakatannya, intinya Vale [VCL] memang itu sudah menunjukan niat fleksibilitasnya, [hak] pengendaliannya itu adalah operasional,” kata Arifin.

Dia beralasan hak pengendali operasional belakangan tetap dipegang VCL dalam rapat-rapat terakhir soal divestasi lantaran pertimbangan keahlian operasional yang dimiliki pemegang saham asing INCO tersebut. 

Apalagi, dia menambahkan, VCL telah lama memegang konsesi di beberapa lapangan yang saat ini aktif dikembangkan INCO. 

Seperti diketahui, VCL memegang konsesi pada sejumlah blok tambang nikel yang tersebar di Provinsi Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara dengan luasan mencapai 118.000 hektare. Hanya saja baru sekitar 16.000 hektare yang dieksplorasi. 

“Yang jago tambang kan siapa? [Vale/VCL] dia sudah beberapa tahun di sini,” kata Arifin. 

VCL mendapatkan konsesi tambang dengan luas mencapai 6,6 juta hektare saat pemerintah menandatangani kontrak karya dengan perusahaan multitambang yang berkantor pusat di Brasil itu pada 27 Juni 1968.

Setelah 12 kali proses pengembalian sebagian wilayah KK, INCO hanya mempertahankan sekitar 2 persen dari luas konsesi tambang itu. Pada 2014, INCO mengembalikan area seluas 72.075 hektare yang dilanjutkan pada 2017 seluas 418 hektare untuk area transmigrasi. 

Di sisi lain, Direktur INCO Bernardus Irmanto enggan memberi keterangan ihwal negosiasi yang tengah berlanjut bersama dengan pemerintah dan MIND ID. Menurut dia, negosiasi divestasi saham dan perpanjangan konsesi tambang itu menjadi ranah dari pemegang saham. 

“Saya tidak dalam posisi memberikan Keterangan terkait negosiasi yang sekarang sedang berjalan antara MIND ID dan VCL dan SMM,” kata Bernardus saat dikonfirmasi, Selasa (13/6/2023).

Saat ini, mayoritas saham INCO dipegang oleh VCL dengan porsi mencapai 44,3 persen, adapun VCL dimiliki 100 persen oleh Vale Sa. Sisanya, kepemilikan INCO dipegang oleh MIND ID sebesar 20 persen, SMM 15 persen dan publik 20,7 persen. 

Seperti diketahui, pada 1988, INCO menawarkan saham kepada pemerintah Indonesia sebesar 20 persen dari total sahamnya untuk memenuhi persyaratan divestasi. Penawaran saham ke pasar domestik itu menjadi amanat dari Surat Keputusan Direktorat Tambang No.1657/251/DJP/1989 tanggal 23 Agustus 1989, sebagai syarat pemenuhan kewajiban divestasi kepada pihak Indonesia. 

Hanya saja, pemerintah Indonesia serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu tidak ada yang menanggapi penawaran saham tersebut. Hasilnya, 20 persen saham itu seluruhnya dilepas ke publik yang tidak langsung digenggam perusahaan pelat merah atau negara yang belakangan jadi pangkal persoalan.  


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper