Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemendag Blak-blakan Penyebab Harga Daging Sapi Melonjak

Kemendag menjelaskan penyebab harga daging sapi di pasaran melonjak terkait dengan upaya stabilisasi harga.
Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (2/6/2019)./Bisnis-Endang Muchtar
Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (2/6/2019)./Bisnis-Endang Muchtar

Bisnis.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut revisi harga acuan daging sapi yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 2022 turut mengerek harga daging sapi di pasaran.

Pasalnya, harga acuan konsumen (HAK) yang baru tersebut berpotensi memberikan ruang kepada pedagang untuk menyesuaikan harga dengan batas atas.

Analis Perdagangan Ahli Pertama Kemendag Aditya Priantomo mengatakan salah satu kebijakan stabilisasi harga pokok yang dikeluarkan Bapanas yaitu melalui Peraturan Bapanas No. 5/2022 dan 11/2022.

Aturan tersebut merevisi harga acuan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 7/2020, dengan daging sapi yang sebelumnya untuk kategori paha belakang Rp105.000 per kg menjadi Rp140.000 per kg, meningkat 33 persen. Kemudian paha depan Rp80.000 per kg menjadi Rp130.000 per kg.

“Jadi alih-alih untuk meredam kenaikan harga, penetapan harga acuan baru malah menjadi referensi pembentukan harga baru dengan tingkat yang lebih tinggi dibanding sebelumnya,” kata Aditya dalam seminar virtual yang diselenggarakan Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Jumat (14/7/2023).

Dia juga mengungkapkan bahwa HAK yang baru yang dikeluarkan Bapanas berpotensi memberikan ruang kepada pedagang untuk menyesuaikan harga dengan batas atas.

Dikutip dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional hari ini, harga daging sapi paha belakang Rp137.950 per kg dan paha depan Rp129.150 secara rata-rata nasional.

“Saat terjadi kenaikan harga acuan, terjadi kenaikan di harga eceran. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, HAK belum optimal karena pembentukan harga di tingkat pedagangan tidak mengikuti di harga acuan,” ujar Aditya.

Hal ini, menurut dia dikarenakan pedagang menjual berdasarkan faktor keekonomian seperti harga perolehan, target keuntungan, biaya logistik dan biaya operasional lainnya. Jadi pedagang banyak mengacuhkan harga acuan karena harga perolehannya sudah tinggi, jadi otomatis harga jualnya tinggi.

“Untuk kebijakan harga acuan tidak disertai dengan reward and punishment. Jadi terkesan pelaku usaha mengacuhkan harga acuan ini,” jelas Aditya.

Menurut dia, kenaikan komoditas pangan, khususnya daging sapi bakal mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Mengutip riset yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasiona (BRIN), kenaikan daging sapi 20 persen saja bisa berdampak terhadap kemiskinan sebesar 10 persen.

“Hasil permodelan dari BRIN terkait alokasi pengeluarkan untuk komoditas khususnya daging sapi mencapai 0,1, itu termasuk tinggi di bawah beras. Elastisitasnya jika terjadi kenaikan harga bahan pangan dampaknya ke daging sapi kecil. Jika terjadi kenaikan 20 persen, dampak ke kemiskinan meningkat 10,2 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper