Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dan Jepang telah sepakat melakukan amandemen lampiran Perjanjian Kerjasama Ekonomi Indonesia-Jepang atau IJEPA. Kesepakatan tersebut berpotensi meningkatkan ekspor perikanan Indonesia ke Jepang.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Luar Negeri Jepang mengungkapkan bahwa kedua negara telah bertukar nota diplomatik untuk amandemen Lampiran 2 (Aturan Khusus Produk) di bawah IJEPA.
Pertukaran nota diplomatik itu sendiri dilakukan pada Senin di Jakarta (3/7/2023). Kementerian Luar Negeri Jepang juga menuturkan bahwa Lampiran 2 yang diubah mulai berlaku pada 5 Februari 2024.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji pekan lalu mengungkapkan bahwa revisi IJEPA memang sedang dilakukan untuk mempromosikan perdagangan dan investasi bilateral dengan memaksimalkan keunggulan komparatif kedua negara.
“Saya sangat percaya bahwa Jepang akan tetap menjadi mitra dagang penting bagi Indonesia selama bertahun-tahun mendatang,” katanya kepada Bisnis, dikutip Kamis (6/7).
Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan melalui keterangan resmi pada Kamis (25/5), juga mengatakan bahwa Indonesia optimistis hubungan Indonesia-Jepang meningkat dengan adanya perjanjian dagang kedua negara. IJEPA adalah salah satunya.
Baca Juga
Kemudian, Zulkifli juga mengatakan bahwa terkait penandatanganan protokol perubahan IJEPA dapat diselesaikan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean pada September 2023 atau Asean—Japan Commemorative Summit pada November 2023.
“Indonesia mencatat permintaan Jepang atas akses pasar baja dan meminta agar Jepang dapat mengeliminasi tarif untuk empat pos tarif tuna kaleng,” jelasnya.
Ekonom Institute for Development and Economic Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menjelaskan bahwa jika Indonesia diberikan eliminasi tarif produk tersebut, maka akan menstimulus ekspor lebih besar lagi.
“Jika tarifnya berkurang atau tidak ada tarif, diharapkan produk tuna kaleng di pasar Jepang akan semakin kompetitif dan meningkatkan ekspor produk tersebut” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (5/7)
Namun Heri sendiri mengingatkan bahwa Jepang merupakan negara yang banyak menerapkan non-tariff measures (NTM).
Menurutnya, meskipun tarifnya rendah atau nol, dikhawatirkan Jepang tetap menggunakan NTM sebagai syarat masuknya produk Indonesia ke negara tersebut. Oleh karena itu, selain permintaan eliminasi tarif, Heri berpendapat maka juga harus ada kesepakatan mengenai nontarif.
NTM Jepang sendiri juga menjadi salah satu hambatan terkait negosiasi revisi IJEPA. Banyak produk Indonesia yang gagal masuk ke Jepang karena masih masuk dalam nontarif, mengingat Jepang menerapkan standar yang cukup tinggi dari aspek kesehatan, lingkungan, dan lain-lainnya.
“Hal ini kemudian menjadi tantangan bagi Indonesia untuk bisa meningkatkan kualitas produk ekspor, agar dapat menembus pasar yang NTM-nya banyak” jelasnya.
Heri juga berpendapat bahwa revisi IJEPA harus semakin mengedepankan kerjasama yang adil dan menguntungkan.
Heri menilai bahwa Jepang sebagai negara yang banyak mengonsumsi produk perikanan dapat menjadi potensi market bagi produk Indonesia. Namun, Jepang tentu juga memiliki industri perikanan yang akan mereka lindungi.
Terkait besar pasar tuna kaleng Jepang bagi Indonesia, Heri menuturkan bahwa Jepang adalah salah satu negara dengan tingkat permintaan tuna yang terbesar. Indonesia juga memiliki potensi supply, sehingga ada kecocokan bagi kedua negara.
“Indonesia perlu diberikan kesempatan mendalami akses pasar di pasar Jepang agar tercipta level playing field bagi semua produsen/eksporter. Kalau kita (Indonesia) masih dikenakan tarif artinya belum level playing field” jelasnya.